Mohon tunggu...
LEXPress
LEXPress Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biro Jurnalistik LK2 FHUI

LEXPress merupakan progam kerja yang dibawahi oleh Biro Jurnalistik LK2 FHUI. LEXPress mengulas berita-berita terkini yang kemudian diunggah ke internet melalui media sosial resmi milik LK2 FHUI.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Potensi Permasalahan di Tengah Angin Segar RUU KIA

31 Juli 2022   14:45 Diperbarui: 31 Juli 2022   14:48 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) saat ini telah disetujui sebagai RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Persetujuan itu disampaikan dalam Rapat Paripurna yang berlangsung pada 30 Juni 2022.

Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut, RUU KIA akan menjadi pedoman bagi negara untuk memastikan anak-anak generasi penerus bangsa memiliki tumbuh kembang yang baik agar menjadi sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Selain itu, RUU KIA juga digadang-gadang dapat menjawab berbagai permasalahan, seperti menurunkan angka kematian ibu akibat melahirkan, menurunkan angka stunting anak, dan memenuhi kebutuhan gizi anak di masa awal kehidupan (Garnesia, 2022).

Sebelumnya, RUU KIA sempat menjadi sorotan di media sosial terutama karena mengatur cuti melahirkan bagi perempuan yang diperpanjang menjadi paling sedikit enam bulan. Tidak hanya itu, perempuan pekerja juga tetap dibayarkan upahnya secara utuh pada tiga bulan pertama, serta 75 persen pada tiga bulan berikutnya pada saat mengambil cuti melahirkan. Tentu hal tersebut menjadi angin segar bagi para para perempuan pekerja.

Padahal cuti melahirkan saat ini hanya diatur tiga bulan dalam pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal tersebut sebenarnya masih sesuai dengan Konvensi Nomor 183 dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang menyatakan bahwa cuti melahirkan paling tidak harus diberikan selama 14 minggu (ILO, 2000).

Selain memperpanjang cuti melahirkan, RUU KIA juga mengatur soal hak suami untuk mengambil cuti paling lama 40 hari untuk pendampingan kelahiran dan paling lama 7 hari bagi kasus keguguran. Sebelumnya, di UU Ketenagakerjaan pada pasal 93 ayat (4), cuti pendampingan suami untuk istri yang melahirkan atau keguguran adalah dua hari dengan upah penuh.

Pihak KPAI tentu menyambut baik kehadiran RUU KIA. Pihaknya memandang RUU KIA merupakan ketentuan baru yang ideal agar ibu yang baru melahirkan memiliki kesehatan mental dan fisik yang baik. Sedangkan bagi anak, durasi waktu yang ideal bisa menurunkan kematian anak, keberhasilan lama menyusui, serta dampak baik lainnya (Firdhayanti, 2022). 

"Adanya cuti melahirkan yang cukup ideal akan membuat seorang ibu yang baru melahirkan memiliki kesehatan mental dan fisik yang baik dan anak pun bisa terjaga dan terawat dengan baik," ujar komisioner KPAI Retno Listyarti.

Sekilas, RUU KIA memang terlihat menjanjikan. Namun, pada kenyataannya RUU KIA masih menyisihkan berbagai permasalahan di lapangan. 

Apabila melihat realita di lapangan, perpanjangan cuti hamil dalam RUU KIA dianggap masih belum banyak berdampak. Terutama pada buruh perempuan yang gajinya sangat kecil. Sebab, mereka akan lebih memilih tetap bekerja di bulan keempat hingga keenam agar bisa memperoleh gaji utuh. Karenanya, perpanjangan cuti melahirkan juga bisa dibilang elitis karena hanya dinikmati oleh pekerja di sektor formal, padahal mayoritas perempuan di Indonesia bekerja di sektor informal (Garnesia, 2022).

Selain itu, para pengusaha sejauh ini masih menentang keberadaan RUU KIA. Terutama berkaitan dengan rencana untuk mengubah masa cuti melahirkan pekerja perempuan menjadi enam bulan dan cuti suami 40 hari untuk pendampingan kelahiran.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (DPD HIPPI) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, ketentuan-ketentuan dalam RUU KIA tersebut akan memberi peluang bagi pengusaha untuk menggunakan sistem kontrak bagi pekerja, menurunkan produktivitas perusahaan dan UMKM, serta kesulitan upah (Firdhayanti, 2022).

"Pelaku usaha berharap agar pemerintah dan DPR melakukan kajian dan evaluasi yang mendalam dan komprehensif sebelum menetapkan UU tersebut karena menyangkut produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing masing pengusaha," kata Sarman.

Komnas Perempuan juga mengkhawatirkan bahwa dalam jangka panjang RUU KIA akan berpotensi menghambat hak bekerja perempuan. Oleh karena itu, Komnas Perempuan menekankan kepada pemerintah untuk dapat memastikan tidak adanya praktik pembatasan kesempatan kerja pada masa rekrutmen atau mempengaruhi kesempatan pengembangan karir perempuan (Komnas Perempuan, 2022).

Dalam pernyataan sikapnya terkait RUU KIA, Komnas Perempuan juga menyebutkan bahwa penerapan RUU ini membutuhkan alokasi anggaran yang cukup dan mensyaratkan pengawasan yang ketat. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengantisipasi pengalokasian anggaran jika ada tempat kerja yang tidak sanggup, meskipun bersedia untuk melaksanakannya (Komnas Perempuan, 2022).

Oleh karena itu, walaupun di satu sisi RUU KIA memiliki tujuan yang baik dan merupakan angin segar bagi para perempuan pekerja. Namun, di sisi lain RUU KIA masih meninggalkan sejumlah ancaman yang dapat menjebloskan perempuan ke dalam feminisasi kemiskinan, kesenjangan upah, bahkan mendomestikasi perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun