Desakan atas draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tak terkecuali mahasiswa. Pada Senin (13/06/2022), bertempat di depan Gedung Rektorat Universitas Indonesia (UI), Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-UI menggelar pernyataan sikap dengan tiga tuntutan sebagai berikut:
Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera membuka draf terbaru RKUHP;
Menuntut Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan pembahasan RKUHP secara transparan dan inklusif dengan mengutamakan partisipasi publik yang bermakna; dan
-
Mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk meninjau kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP sebelum pengesahan dilakukan.
Pergerakan yang dilakukan oleh aliansi BEM se-UI semula diagendakan pada pukul 15.00 WIB. Namun, agenda terhambat akibat cuaca. Sekitar pukul 16.30 WIB, 14 ketua dan 2 wakil ketua BEM dari seluruh fakultas bersama-sama menggaungkan ketiga tuntutan di depan Gedung Rektorat.
Draf RKUHP yang dikeluarkan pada September 2019 sebelumnya sempat menjadi polemik, mengakibatkan timbulnya gelombang protes dari berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat sipil. Presiden Joko Widodo kemudian menyatakan bahwa draf RKUHP masih perlu dievaluasi dan memerintahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk menyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) agar menunda pengesahan RKUHP. Namun, hingga saat ini draf terbaru RKUHP tak kunjung dibuka kepada publik. Padahal, pembentukan peraturan mengharuskan adanya keterlibatan dan peran serta masyarakat untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas (Hidayat, 2021). Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 96 ayat (4) menyebutkan bahwa setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.Â
Berdasarkan wawancara yang kami lakukan, Koordinator Bidang Sosial Politik BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Timothy Andrue Sambuaga, menyampaikan bahwa dalam waktu dekat akan dilaksanakan audiensi bersama Kemenkumham untuk meninjau pasal-pasal yang dinilai bermasalah. Adapun audiensi tersebut akan dihadiri oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang mencakup berbagai organisasi, salah satunya elemen mahasiswa. Diharapkan, audiensi tersebut dapat membuka ruang aspirasi.
Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Adam Putra Firdaus, menjelaskan bahwa salah satu muatan dalam RKUHP yang dinilai bermasalah adalah Pasal 273. Pasal tersebut memuat bahwa  setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, "Ketertiban umum menurut kami masih karet, dapat ditafsirkan secara sepihak dan kami nilai berbahaya bagi demokrasi."Â
Dalam pernyataan sikap yang turut dihadiri oleh beberapa fungsionaris BEM dari seluruh fakultas, Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FH UI, Prisakanti M.Q., menyampaikan bahwa di masa mendatang tak tertutup bagi mahasiswa untuk melakukan desakan lanjutan secara substansial. Hal ini dapat dilakukan dengan perilisan policy brief dari aliansi BEM se-UI terhadap matriks yang telah dibagikan oleh pemerintah dan DPR RI. Lebih lanjut, eskalasi isu dapat dilakukan dengan membawa desakan ke skala nasional agar gerakan hanya tidak terpusat di Jakarta.
Terhadap polemik ini, menurut Sakanti, timbul harapan terhadap pemerintah dan DPR RI untuk melakukan pembahasan secara partisipatif agar RKUHP tidak lolos dengan pasal karet yang dapat menjerat masyarakat. Tak lupa, masyarakat hendaknya mengingat RKUHP menjadi payung hukum yang dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari, bahkan ruang privat individu, sehingga pembahasan mengenai draf RKUHP seyogianya dilakukan secara transparan, aspiratif, dan akuntabel.