Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi isu yang menyedihkan di India, mencerminkan betapa rapuhnya sistem perlindungan bagi mereka yang menjadi korban. Banyak kasus yang mencuat ke permukaan, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga hingga kejahatan seksual, namun terdapat satu kasus terbaru yang sangat mengejutkan, seorang dokter magang di Kolkata menjadi korban kekerasan sadis, dan ironisnya, sistem yang ada tampak gagal memberikan perlindungan yang dibutuhkan. Kasus ini seharusnya menjadi peringatan bagi perempuan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, bahwa perjuangan melawan kekerasan berbasis gender belum berakhir.
Fakta Kasus: Kronologi Singkat Tragedi di Kolkata
Kasus kekerasan yang menimpa seorang dokter magang perempuan berusia 31 tahun di RGÂ Kar Medical College and Hospital, Kolkata, Benggala Barat, India, pada 9 Agustus lalu mengejutkan dunia dan kembali menyoroti masalah keamanan perempuan di tempat kerja serta lemahnya sistem perlindungan di negara tersebut. Korban, seorang dokter muda yang sedang menjalani masa magangnya, diserang dan mengalami kekerasan seksual sebelum akhirnya dibunuh dengan brutal. Berdasarkan laporan sejumlah media lokal di India, peristiwa ini terjadi ketika korban tengah beristirahat di aula seminar rumah sakit setelah bekerja selama 36 jam tanpa henti. Dalam kondisi kelelahan yang sangat, ia tidak berdaya menghadapi kejahatan tersebut.
Hasil penyelidikan menunjukkan sekitar 150 mililiter cairan sperma ditemukan di tubuh korban, mengindikasikan kekerasan seksual yang mengerikan sebelum korban kehilangan nyawanya. Saat ditemukan oleh rekan kerjanya, kondisi jasad korban sangat mengenaskan, dengan luka-luka yang menyebar di bagian mata, mulut, alat vital, serta beberapa bagian tubuh lainnya, seperti kaki, leher, dan tangan. Luka-luka ini menunjukkan kemungkinan adanya penyiksaan fisik yang tidak manusiawi sebelum ia meninggal.
Sanjay Roy, seorang pria berusia 33 tahun yang bekerja sebagai relawan sipil di kepolisian sejak 2019, menjadi terduga utama dalam kasus ini. Ironisnya, tersangka sempat lolos dari hukum karena kelambatan pihak kepolisian dalam merespons laporan yang masuk, menandakan adanya kelalaian dan kelemahan penegakan hukum yang melindungi perempuan. Kepolisian masih mendalami apakah Roy bertindak sendirian atau melibatkan pihak lain. Tragedi ini memperpanjang daftar kasus kekerasan terhadap perempuan di India dan menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem perlindungan serta penegakan hukum yang seharusnya melindungi perempuan dari kekerasan semacam ini.
Kelalaian Aparat dan Sistem yang Gagal
Kelalaian penegak hukum dalam kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana mungkin aparat tidak segera bertindak saat mendapat laporan? Mengapa ada jeda waktu yang membuat tersangka dapat melarikan diri atau bahkan menghilangkan bukti? Masalah ini bukan hanya terjadi pada satu atau dua kasus, namun sudah menjadi pola yang memperlihatkan kegagalan sistematis dari penegak hukum di India dalam menangani kekerasan terhadap perempuan.
Kegagalan ini sering kali dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kedekatan tersangka dengan pihak berwenang. Banyak kasus di mana pelaku memiliki hubungan dekat dengan aparat hukum, sehingga bisa menggunakan pengaruhnya untuk memperlambat atau bahkan menghalangi investigasi. Ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang berbahaya karena mengakibatkan korban, dalam hal ini perempuan, tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya mereka terima.
Kasus-Kasus Serupa: Bukti Lemahnya Penegakan Hukum
Kasus kekerasan terhadap dokter magang di Kolkata ini bukan satu-satunya. Banyak kasus serupa yang terjadi sebelumnya, bahkan yang lebih brutal. Misalnya, kasus perkosaan beramai-ramai di Delhi pada 2012 yang mendapat perhatian dunia dan memicu gelombang protes besar-besaran. Meskipun hukum telah direvisi dan aturan yang lebih ketat telah diterapkan, tetap saja, kekerasan terhadap perempuan tidak kunjung berkurang. Di India, seorang perempuan diperkosa setiap 16 menit, menunjukkan betapa urgennya masalah ini untuk segera ditangani.
Lemahnya penegakan hukum serta peran aparat yang masih memihak pelaku daripada korban, semakin memperparah keadaan. Tidak jarang, kasus-kasus seperti ini berakhir dengan vonis ringan atau bahkan bebasnya pelaku karena kurangnya bukti akibat tidak optimalnya investigasi yang dilakukan.
Reaksi Publik: Tuntutan Terhadap Pemerintah dan Sistem Hukum
Masyarakat India, terutama komunitas medis dan kelompok masyarakat sipil, sangat marah dengan kasus terbaru ini. Mereka merasa kecewa dengan lambatnya respons pemerintah dan kepolisian, dan menuntut adanya tindakan konkret. Protes yang berlangsung selama beberapa hari menarik perhatian dunia internasional dan memberi tekanan kepada pemerintah untuk segera memperbaiki sistem yang ada. Para pengunjuk rasa mendesak reformasi hukum yang lebih kuat untuk melindungi perempuan dari kejahatan berbasis gender dan mendorong pemerintah memperhatikan serius hak dan keamanan perempuan.
Gerakan protes ini juga menjadi cerminan bahwa masyarakat India tidak tinggal diam. Gerakan sosial dan solidaritas dari kalangan aktivis, mahasiswa, serta profesional semakin gencar disuarakan. Namun, protes ini membutuhkan dukungan yang lebih luas agar pemerintah benar-benar menyadari bahwa permasalahan ini bukan hanya persoalan nasional, tetapi juga internasional.