Mohon tunggu...
Lewa Karma
Lewa Karma Mohon Tunggu... -

wong bali, asli Lombok

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Informasi Kini: Gemes, Acuh, Lalai

8 Januari 2014   00:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca, mendenger, melihat dan menyaksikan berita kini benar-benar bikin "panik", mau di bawa kemana Indonesia di masa mendatang? Bayangkan isi berita di media elektronik /siar dan media cetak hampir mengintip rasa cemas di semua aspek. Politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan sebagainya semua  bak problem yang morat-marit. Setiap masalah saling terkait dan saling meniadakan, sehingga satu masalah muncul akan menimpakan masalah lain, begit seterusnya.

Politik misalnya, dari pagi hingga pagi lagi melulu poltik tersiar dengan jelas dan meracuni asumsi dan nalar setiap yang mendengar dan melihatnya. Berita Politik kini dipertontonkan adalah democrazy dan demolazy bukan demokrasi. Semua membuat pernytaan, opini dan saling menjatuhkan. Mungkin hari ini berangkulan "cipika cipiki" eh tau taunya esok saling huajt caci seperti "preman comberan" saja. Kemudian berita ekonomi nilai tukar rupiah yang makin lemah, daya beli masyarakat susut, eeeeh tau tau gas elpiji (LPG) naik,.taukah harga biasa aja empot empotan, kok malah naik, lucunya lagi yang di atas ngakunya tak tahu kebijakan itu dan direvisi sehingga harga hanya naik separu saja.

Berita Sosial, mulai dari kriminalitas, asusila, kesesatan hingga panggung hiburan dan selebritas wuhh ada yang berisi gosip belaka, ada yang hanya numpang tenar dengan aksi main tinju, ada yang menyumpahi mantan guru ada artis yang gak kenal suaminya dan sederet cerita aneh tapi nyata. Ironisnya itu tersiar tercetak bebas di setiap sudut dan teras rumah tangga.

Jika hal ini tidak dibaca dengan "hati" dan hanya ditelan mentah-mentah, maka yang terjadi adalah "kanibalisme" dan "doktrinasi" ala media, berita mana yang sering masuk, maka sifat itu setidaknya akan hinggap dan menjadi "virus" ideolgi baru bagi pembaca dan pendengarnya. jadi semua harus di filtrasi, ibrata memisahkan pasir dan air, sehingga pasirnya dibuang air bisa dimanfaatkan. lantas harusnya bagaiman menanggapi problem ini, siapa yang bertanggungjawab atas masalah ini.

saya gemes dengan hal ini, tapi mengapa kita mengacuhkannya,.terus sang penguasa sepertinya santai dan berlagak "lalai" atas semua perisstiwa dan fakat sosial yang terjadi kini. Menkominfo yang berwenang mengatur regulasi penyiaran dan informasi bersama kemnterian dan lembaga terkait harus tegas bersama masyrakat peduli informasi.

Kita setiap hari dijejali informasi yang gak bermutu, dan yang bermutu hanya separuh dari kebutuhan  kita, jadi jangan salahkan jika masyrakat kita menjadi beringas, nakal, permisif dan akhirnya berani melawan hukum dan negara. mengapa, ya karena kelalain kita dan aparat untuk mengatur informasi secara tepat dan efektif. Ayolah kita galang penyadaran hukum untuk menyiarkan dan menybearkan informasi yang positif dan mendidik untuk anak, bangsa dan negara agar bangsa ini cerdas, santun dan bijaksana. kalu begini masih mending menteri penerangan dulu lah, ..ah masa iya sih.kita tunggu aksi pemerintah yang tanggap, asal jangan dijadikan pencitraan.

Lewa Balo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun