Mohon tunggu...
Popi Andiyansari
Popi Andiyansari Mohon Tunggu... -

Asli Jogja sedang menimba ilmu di UGM Kampus Biru, mampir ke blog saya http://popiandiyansari.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memilih Pemimpin yang Ideal

22 Maret 2014   00:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1395395933365248750

Euforia menyambut pesta demokrasi pemilihan anggota legislatif 9 April 2014 semakin terasa. Jalanan penuh sesak dengan baliho-baliho caleg lengkap dengan potonya, televisi semakin berwarna dengan iklan-iklan partai, serta obrolan masyarakat yang tak henti-henti membahas tentang partai dan pilihannya. Inilah salah satu bentuk demokrasi yang sejak dari dulu diangung-agungkan dalam ungkapan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

Agenda 5 tahunan ini memang menjadi isu nasional karena dengan pemilihan ini diharapkan terpilih wakil-wakil rakyat yang akan memperjuangkan nasib masyarakat Indonesia. Para anggota legislatif yang nantinya terpilih tentunya akan menduduki jabatan di Dewan Perwakilan Rakyat, mengurusi segala bentuk kebijakan yang dianggap baik untuk masyarakat Indonesia.

Tulisan ini mungkin tidak akan terlalu ‘serius’ jika dibandingkan dengan komentar para pengamat politik yang sering tampil di televisi. Tetapi cukuplah mengobati gelisah diri pribadi sebagai masyarakat yang masih awam ini :)

Iklan yang ‘Menyesatkan’

Untuk tahun 2014 ini terdapat 15 partai yang mengikuti bursa dalam pemilihan umum. Jumlah partai yang mengikuti pemilu cukup fluktuatif jika dilihat sejak tahun 1999 yang berjumlah 48 partai, tahun 2004 sejumlah 24 partai, dan tahun 2009 terdapat 38 partai. Dari ke-15 partai yang mengikuti bursa pemilu pada 2014 ini terdapat 6.608 caleg yang akan berebut kursi di parlemen. Padahal untuk anggota DRR RI hanya tersedia 560 kursi saja. Jadi akan ada 6048 caleg yang dipastikan gagal memasuki gerbang parlemen.

Masyarakat tentu saja tak akan memilih jika caleg yang mencalonkan diri tidak populer, dalam kata lain tingkat elektabilitasnya cenderung akan lemah. Untuk itu berlomba-lombalah mereka (para caleg) mempromosikan diri dengan berkampanye melalui media. Lihat saja, jalanan penuh dengan bendera warna-warni partai, tembok-tembok penuh poster caleg, televisi penuh dengan iklan partai.

Iklan yang disampaikaan juga tak jauh berbeda dengan iklan-iklan yang disampaikan pada pemilihan umum sebelumnya. Jargon-jargon tentang : bersih dari korupsi, pemimpin yang adil, partainya wong cilik, sekolah gratis, kesehatan terjamin, dan berbagai iklan lain yang terlihat ‘standar’. Mungkin ada kemudian yang berinovasi dengan membalik gambar caleg ataupun mempromosikan partai dengan ke-ganteng-an pemimpin partai. Apalah itu, yang penting bisa menarik perhatian penonton.

Sayangnya, masyarakat mulai jenuh dengan iklan-iklan semacam itu, dan mulai terasah sikap kritisnya. Hal ini memunculkan apatisme masyarakat terhadap politik, apatis terhadap pemerintah dan cenderung under estimate terhadap orang-orang di ‘dewan’.

Sebenarnya wajar saja jika masyarakat bersikap demikian. Dengan banyaknya anggota DPR yang terseret kasus korupsi, masyarakat semakin tidak percaya dengan para anggota dewan. Pamor DPR yang awalnya sebagai pembuat kebijakan dalam Undang-Undang juga hanya dianggap sebagai penerus ideologi tertentu dalam kebijakannya. Mereka dianggap tidak lagi mengataskan namakan masyarakat, akan tetapi hanya mengatas namakan kelompok tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun