Teruntuk kau penolak rejeki
Pagi itu terasa dingin mengguyur tubuh
Perlahan ku bangun mengambil selimut ku yang ternyata jatuh
Entah mengapa nyenyaknya tadi tak bisa lagi kusentuh
Ku topang saja bangunku dengan secangkir kopi yang ku seduh
Hati bertanya pikiran berpikir wajah tertunduk lagi
Teringat akan kebutuhan hidup untuk anak dan istri
Entah sejak kapan rasa cemas masa depan membangun panggungnya dalam hati
Irama musik tari cemas menyemangati cemas itu untuk terus menari
Kutinggalkan kopi hitam tinggal setengah dan menuju lemari
Ku ambil ijazah ku disertai tarikan  nafas panjang yang mengiringi
Ijazah kebanggaan yang kucari melewati semak dan duri
Sebuah perjalan panjang yang menjadi kebanggaan dalam diri
Masih terbekas luka lama saat berjalan dalam duri
Saat mimpi meraih selembar kertas yang sangat berarti
Bekerja sambil kuliah membuat aku mengerti
Tidaklah mudah meraih mimpi
Saat tak sengaja ku dengar cuitan delapan juta gaji
Tak tertahan wajah ini tersenyum sendiri
Seandainya saja aku yang menggantikan posisi
Pasti itu menjadi berita penuh arti bagi anak dan istri
Hati bertanya pikiran berpikir wajah tertunduk lagi
Sadar bahwa tadi itu hanyalah imajinasi
Namun hati terus bertanya mengapa beliau begini
Bukankah delapan juta adalah nilai yang tinggi
Ternyata benar kata orang yang pernah ku dengar sendiri
Setiap orang memiliki standar nilai dalam diri
Aku tak ingin menghakimi gengsinya tinggi
Karena mungkin sudut pandang ku ini yang tidak mengerti
Semua orang punya hak untuk memilih
Meski kadang terkesan hanya ego dalam diri
Namun kisah itu terlanjur masuk ke otak kiri
Mengambil posisi duduk dan mungkin juga kan bernyanyi
Semoga saja beliau tak salah memilih
Memilih kata untuk menopang pilihan diri menolak gaji
Karna kata juga mencerminkan hati
Namun  banyak yang tidak menyadari
Ah sudahlah ku sudahi imajinasi ber ibarat berada pada posisi
Mending kudiam dan menghabiskan kopi yang tinggal setengah tadi
Tetap bersyukur akan apapun yang terjadi