Mohon tunggu...
Levina viola
Levina viola Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kudeta Myanmar Dalam Perspektif Hukum Internasional

17 Desember 2024   13:59 Diperbarui: 17 Desember 2024   13:59 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kudeta militer di Myanmar yang terjadi pada 1 Februari 2021 telah menjadi perhatian global dan menuai kecaman dari berbagai pihak. Militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, menggulingkan pemerintahan sipil yang sah di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dengan dalih adanya kecurangan pemilu. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan serius dalam konteks hukum internasional, terutama terkait prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, serta kedaulatan suatu negara.

Dalam hukum internasional, kudeta sering kali dilihat sebagai pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara jelas menyatakan pentingnya menghormati kedaulatan negara, tetapi juga menekankan perlunya melindungi hak-hak dasar manusia. Kudeta di Myanmar tidak hanya menggulingkan pemerintahan sipil, tetapi juga disertai dengan tindakan represif terhadap masyarakat sipil, seperti penangkapan sewenang-wenang, pembatasan kebebasan berpendapat, dan kekerasan terhadap demonstran. Hal ini jelas melanggar kewajiban internasional Myanmar sebagai negara anggota PBB.

Salah satu aspek yang menjadi perdebatan adalah sejauh mana komunitas internasional memiliki kewenangan untuk campur tangan dalam urusan domestik Myanmar. Prinsip non-intervensi dalam hukum internasional, yang dijamin oleh Pasal 2(7) Piagam PBB, sering kali menjadi hambatan bagi negara-negara lain atau organisasi internasional untuk secara aktif menekan Myanmar. Namun, ketika suatu rezim melakukan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, prinsip Responsibility to Protect (R2P) dapat diaktifkan. Konsep R2P menekankan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya dari kejahatan kemanusiaan, seperti genosida, pembersihan etnis, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika negara gagal melakukannya, komunitas internasional dapat bertindak melalui mekanisme hukum internasional.

Dalam konteks Myanmar, langkah-langkah hukum internasional masih terbatas. Dewan Keamanan PBB yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sering kali terhambat oleh kepentingan politik negara-negara anggota tetap, seperti China dan Rusia, yang menolak keras adanya intervensi. Sementara itu, berbagai sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap pemimpin militer Myanmar belum sepenuhnya efektif dalam mengembalikan pemerintahan demokratis.

Selain itu, kudeta Myanmar juga berdampak pada krisis pengungsi dan pelanggaran HAM yang semakin meluas. Sebelumnya, militer Myanmar telah terlibat dalam penindasan etnis Rohingya yang memicu gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga, seperti Bangladesh. Kudeta memperburuk situasi ini karena pemerintah militer cenderung abai terhadap penanganan isu pengungsi dan hak-hak kelompok minoritas. Kejahatan semacam ini berpotensi dikategorikan sebagai crimes against humanity yang dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Namun, Myanmar bukan pihak dalam Statuta Roma ICC, sehingga yurisdiksi Mahkamah sulit diterapkan tanpa resolusi dari Dewan Keamanan PBB.

Dalam perspektif hukum internasional, kudeta Myanmar mencerminkan adanya dilema antara prinsip kedaulatan negara dan perlindungan hak asasi manusia. Mekanisme internasional yang ada saat ini belum cukup kuat untuk menindak pelaku kudeta, terutama ketika kepentingan geopolitik turut bermain. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih tegas dari komunitas internasional, baik melalui diplomasi, tekanan ekonomi, maupun kerjasama regional di bawah payung ASEAN.

ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi Myanmar memiliki peran penting dalam penyelesaian konflik ini. Meskipun prinsip non-interference menjadi fondasi ASEAN, krisis Myanmar membuktikan bahwa prinsip ini perlu diadaptasi dalam situasi yang mengancam stabilitas kawasan. Solusi seperti "Konsensus Lima Poin" yang diajukan ASEAN perlu diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, termasuk mendesak dialog antara pihak militer dan oposisi sipil.

Pada akhirnya, kudeta di Myanmar menegaskan perlunya reformasi dalam sistem hukum internasional agar lebih responsif terhadap situasi yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia. Dunia internasional harus memastikan bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh rezim militer tidak dibiarkan tanpa konsekuensi. Myanmar adalah contoh nyata bahwa perjuangan untuk keadilan dan demokrasi tidak dapat hanya diserahkan kepada rakyat yang tertindas, melainkan memerlukan dukungan aktif dari sistem hukum internasional yang lebih kuat dan efektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun