Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada berbagai situasi yang bisa memicu emosi. Dari kritik tajam yang dianggap menyerang atau kondisi yang tidak sesuai harapan, dan parahnya di saat seperti ini kita dituntut membuat suatu keputusan.
Filosofi air mendidih menawarkan perspektif yang menarik dan bermanfaat dalam menghadapi situasi ini. Seperti air yang mendidih, ketika emosi memuncak, kita tidak dapat melihat dengan jelas apa yang ada di dalam air itu karena terhalang oleh gejolak dan uap. Berbeda dengan air dalam keadaan tenang, kita bisa melihat isi air itu dengan jelas, seperti itu juga pikiran kita.
Air Mendidih: Simbol Emosi yang Meluap
Bayangkan sebuah panci berisi air yang dipanaskan di atas kompor. Saat suhu meningkat, air mulai mendidih dan menghasilkan uap. Dalam kondisi ini, sulit untuk melihat ke dalam panci karena pandangan kita terhalang oleh gejolak dan uap yang dihasilkan.
Hal yang sama terjadi pada pikiran kita ketika emosi meluap. Kemarahan dan frustrasi bertindak seperti air mendidih, mengaburkan pandangan kita terhadap situasi yang sebenarnya.
Banyak dari kita, termasuk para pemimpin, merespon kritik yang dianggap menyerang atau ketika menghadapi situasi yang tidak berkenan dengan cara yang reaktif. Ketika kita merasa diserang, reaksi alami kita adalah membela diri atau bahkan menyerang balik.
Ketika kita mendapati hal yang tidak berkenan di hati, kita pun akan langsung naik pitam. Ini adalah respon naluriah yang sering kali didorong oleh emosi. Namun, keputusan yang diambil dalam kondisi seperti ini sering kali tidak produktif dan terlihat tidak bijaksana.
Keputusan dalam Kondisi Emosi
Ketika kita membuat keputusan dalam keadaan marah atau emosi, kita cenderung mengambil keputusan yang tidak produktif. Ini dikarenakan pikiran kita tidak jernih dan pikiran kita hanya terfokus pada perasaan negatif yang mendominasi. Keputusan yang diambil dalam kondisi ini sering kali didasari oleh dorongan sesaat, bukan oleh pertimbangan yang matang.
Misalnya, seorang manajer yang marah karena kritik dari atasannya mungkin membuat keputusan untuk memarahi bawahannya tanpa mendengar penjelasan mereka. Ini tidak hanya merusak hubungan kerja, tetapi juga dapat menghambat produktivitas dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat.
Dalam kasus lain, seorang pemimpin yang merasa terancam oleh kritik mungkin merespon dengan mengambil keputusan yang defensif, yang justru memperburuk situasi. Keputusan reaktif ini sering kali didorong oleh keinginan untuk segera mengatasi perasaan tidak nyaman yang muncul. Namun, tindakan yang tergesa-gesa biasanya berakhir dengan penyesalan.