Â
Terima Kasih Guruku
Dunia ini tidak ada rasa nyaman, sungguh aku muak dan benci. Sudah mau dua tahun aku duduk di bangku SMA. Seringkali aku meratapi nasib. Semenjak ayah tiada, ibuku kerja banting tulang. Ditinggal ayah hidup ini semakin morat-marit.Â
Sebagai anak paling besar , anak pertama  dan laki-laki. Beban ayah ada di pundakku. Kedua adikku adalah tanggung jawab yang harus kupikul.  Dari kelas 3 SD, ayah sudah mendaftarkan aku les musik yang memang sudah hobi dari kecil. Dan ternyata sekarang manfaatnya. Berkat ayah aku bisa mencari uang melalui musik keyboard. Sepulang sekolah aku mengajar les privat anak tetangga. Lumayanlah menambah uang saku.Â
Dan aku juga pelayanan di gereja, seringkali mendapat tip dari paraorang tua di sana. Mereka merasa prihatin terhadap kehidupan kami. Meskipun susah ibu, aku dan adik-adik selalu rajin ibadah dan melayani. Namun saat itu kehidupan mulai berat. Masuk sekolah SMA Tugas-tugasnya menumpuk. Sehingga aku muak dan tanpa sadar sumpah serapah keluar dari mulut.
Aku menyumpahi guruku yang pincang. Beberapa bulan sebelumnya dia kecelakaan. Dan masih pemulihan. Guru itu sering memberikan tugas sangat banyak menurutku, sebab sebelumnya semasa SMP sekolahku tergolong santai. Begitu masuk SMA aku kaget. Dan menemukan guru-guru yang suka memberikan tugas. Salah satu guru pincang tadi. Aku semakin membencinya. Guru itu hanya duduk di depan, kemudian diberikan tugas setelah penjelasan sebentar. Â Hanya sekali-kali dia berjalan, Â itupun sangat payah dan sebentar. Sebenarnya aku sedikit merasa kasihan. Namun rasa kasihan itu hilang disebabkan banyak tugas darinya.Â
Aku bersama teman kelompok menyumpahinya. Berharap dia pincang selamanya. Tugas kelompok tidak selesai, Â hari berikutnya dikoreksi dan dinilai. Kelompok kami terpaksa maju dan dinasehati olehnya. Rasa benci semakin bertambah.Â
"Kenapa tidak mengerjakan tugas? Masalahnya dimana? " Guru tersebut yang biasa dipanggil  Bu Ratih mulai marah.
"Saya sudah mengerjakan bagian A yang lain juga sudah, Bu tinggal menunggu Doni yang belum,"Leli menjelaskan alasannya.
"Kenapa Doni tidak mengerjakan tugasnya?" Bu Ratih bertanya sambil memandangku , wajahnya mulai bengis. Dan menambah tingkat kebencian di dalam dada.
"Aku banyak pekerjaan di rumah Bu, dan tidak sempat mengerjakannya. "Aku mengutarakan alasan kenapa tidak mengerjakan tugas.
"Lho, kan banyak jedanya, Sabtu,Minggu libur."
"Aku pelayanan di gereja dari Sabtu sampai hari Minggu dan itupun pulangnya malam." Aku dengan berani memandang Bu Ratih.
"Seharusnya kamu kerjakan dulu tugasnya sebentar, Â atau di sini setelah pulang sekolah kerjakan bersama kelompokmu," ujar Bu Ratih. Aku hanya terdiam dan mengumpat dalam hati.