Pegang tanganku dan jangan lepas. Itu pintaku sebelum kita mengikat janji. Bersama-sama mengayuh bahtera tanpa peduli gelombang badai menghampiri. Aku takkan goyah, selalu setia sepanjang hayat baik lara dan suka. Aku tetap bisa menebar senyum asal engkau selalu ada di sisiku.Â
Canda tawa selalu hadir di tengah-tengah keluarga kecil kita. Aku bahagia mendampingimu seperti merekahnya mentari, secerianya rembulan. Tak henti-hentinya rasa syukur terucap dari bibir.Â
Semuanya indah seperti kupu-kupu hilir mudik menghiasi taman. Bagikan bunga-bunga mawar yang sedang mekar bertamburan di beranda. Mawar-mawar itu hadiah ulang tahun pernikahan kita yang kelima belas. Dunia rasanya ikut merasakan kebahagiaan yang kau beri.Â
Pada saat itu surya cerah benderang. Aku membuka jendela kamar terlihat mawar merah, putih, kuning menyala dengan kontras. Aku berlari menuju kembang mawar yang sedang mekar. Aku terpesona dan bertanya-tanya "siapa yang meletakkan mawar di pekarangan depan rumah?"
Aku berlari lagi ke kamar menemukanmu masih terlelap. Kucium pipimu dengan gemas. "Pa, mawar itu, sejak kapan ada di pekarangan kita?"
Masih bermalas-malasan mata itu terbuka, mata yang selalu kupuja terpancar teduh menentramkan hati.
"Oh iya, mawarnya banyakkah?"
Engkau masih berkelakar seperti biasa membuat aku selalu cemberut riang. Artinya jika engkau masih bercanda suasana hati lagi bahagia. Aku sangat mengenalmu, luar dalam.Â
Kebahagiaan itu tiba-tiba terenggut, mentari tiba-tiba berubah pekat bagaikan jelaga. Ternyata itu terakhir kalinya engkau memberikan aku hadiah. Mawar terakhir darimu. Dari sekian mawar semenjak kita dipersatukan oleh-Nya. Malam hadir tanpa bintang menambah kegelapan seperti hati gelap gulita. Air mata tak henti-hentinya menetes. Aku tak sanggup suamiku. Aku tak sanggup berulang kali kalimat itu terucap dari bibir.
Engkau tega meninggalkan kami, tiga buah hati terlantar. Bagaimana kelak kelanjutan hidup mereka. Sedangkan aku kini ingin bersamamu melanjutkan mimpi yang selalu kita ikrarkan sepanjang masa.Â
Kekasihku pagi ini aku hadir di pusaramu. Kristal-kristal bening mengalir lagi bagaikan anak sungai. Mata sudah sembab dan bengkak. Aku tak henti meratap. Bila Tuhan berkehendak, aku sudah siap ikut denganmu. Aku tidak ingat siapa-siapa lagi. Hanya ingin pergi menemanimu ke keabadian.
"Ma, yuk pulang, tinggal kita berempat di sini, sebentar lagi hujan turun," si bungsu mengingatkan.Â
Aku tersadar, ternyata masih ada anak-anak yang membutuhkan. Mereka juga sangat terluka. Masih dini mereka engkau tinggalkan. Si sulung masih SMA, tengah masuk SMP, si bungsu masih kelas tiga SD. Aku kembali menangis, ingin berteriak sekencang mungkin. Agar duka lara segera berlalu. Kekasih aku masih memegang janjimu. Takkan membiarkan kami sengsara walaupun kelak engkau sudah di taman firdaus.