Mohon tunggu...
Lestari Ningsih
Lestari Ningsih Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penulis; menulis apa yang dilihat, dipikirkan, dan dirasakan. Memberi inspirasi dan manfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cincin Pernikahan

31 Maret 2020   16:31 Diperbarui: 31 Maret 2020   19:34 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau sudah begitu Mimik akan tersenyum sambil lanjut tertawa terpingkal-pingkal. Kebaya Mimik dan konde yang biasa di simpan di atas almari aku pake. Beraksilah aku seperti sinden ludrukan.

*****

"Ini bayar dulu SPPmu. Kita makan seadanya saja, ya?  Cincinnya tadi dibawa Mbok Mul ke pegadaian. Nanti kalau ada ayam yang 'kecepit' kita potong", sambil memberiku uang tersebut. Sudah akhir semerter aku baru bisa bayar. Maklum kuliah di perguruan tinggi swasta tidak terlalu ribet seperti sekarang ini. Keterlambatan membayar karena uang hasil panen ayam potong diprioritaskan untuk bayar SPP Mbak Nina dan Mas Hardjito yang juga kuliah. Pun demikian aku tak pernah memaksa Mimik untuk membayar SPP tepat waktu.

*****

Masih teringat ketika kecil Mimik tengteng aku menyusuri kampung kelahirannya. Kampung di bawah kaki Gunung Ciremai. Suara sungai di belakang rumah mak (panggilan nenek) selalu saja mengajakku untuk kembali. Suasana malam yang diiringi suara katak. Biasanya di hari ke dua kedatangan kami pulang kampung, pasti Mang Idik, Mang Danu, Mang Ayu lengkap beserta istri mereka ngobrol sampai larut. Bau pohon jati sebelah rumah meninabobokan aku. Maklum seharian aku bersama Ina, Lilis, dan Otong 'ngalag' (ambil buah=mangga muda) di halaman rumah 'gedong' (sebutan rumah besar nan kaya) mengais.
"Ceuceu, teu nanaon lamun jual sawah sepetak anu ti Cigasong", lamat-lamat aku mendengar perbincangan Mang Idik dan Mimik. Mimik adalah saudara tertua. Mang Idik menyarankan intuk menjual sawah. Aku tidak sempurna berbahasa sunda. Tetapi aku mengerti apa yang sedang diperbincangkan.
"Tong! Ulah dijual. Ceuceu masih aya ieu", Mimik menunjuk cincin perkawinan yang sangat dibanggakannya.

Percakapan malam itu semakin dalam. Aku tak tahu apa yang diperbincangkan oleh Mamang dan Mimik. Yang aku tahu sampai sekarang adalah cincin pernikahan menjadi penyelamat kami disaat kami kekurangan. Kekehnya Mimik memperjuangkan ke 7 anaknya agar kehidupannya layak dan mandiri. Beliau ingin menyampaikan bahwa cincin pernikahan  sebagai lambang kesetiaan sekaligus lambang perjuangan rumah tangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun