Aku ingin cerita, tentang malam di tengah kota
hiruk – pikuk manusia dan bau keringatnya
setelah sehari, berlari mengejar mimpi
membawa sekantung harapan
dan doa tulus ayah ibunda
.:.
Hampir padam lampu – lampu kota
meninggalkan banyak cerita
pada tembok, pada jalan, dan udara
kita adalah kehidupan sementara
manusia – manusia yang diperbudak dunia
.:.
Teman, di tengah keramaian kerap kita merasa sendiri
sangat diabaikan padahal ramai suasana kini
lenganmu lelah menggapai angan
dan bertanya – tanya, “dimanakah Tuhan?”
kemudian gelap, hatimu oleh malam ditelan
.:.
Kita kadang lelah, Teman
mencari – cari bening di keruh kolam
bosan hidup kotor, ingin lepas yang haram
tapi dunia dengan tipu daya mengancam
lalu terjebak pada dua dan tiga malam
terulang, lagi dan lagi
hingga tambah kerut di dahi
.:.
Saatnya akan tiba, ketika waktu habis
nafas tak lagi mendesis
serak suaramu menangis :
“Tuhan, Tuhan, maaf aku egois!”
kepergianmu diantar gerimis
teriring lagu – lagu sumbang para gadis.
.:.
Ceritaku usai kini
mengantarmu pada sisi yang membosankan
yang lama diceritakan mulut ke mulut
tapi, tetap aku turut
merunutkan cerita – cerita lama
tentang hidup dan luka yang ditorehkannya.
Tebingtinggi, 8 Mei 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H