Gadis Tanpa Gambar
_____________
Sebenarnya kita ini siapa?.
Sebinarnya kita ini apa?.
Gadis tanpa gambar itu menangis hambar. Air matanya menampar pipihnya hingga terlihat memar. Samar-samar isak, sesak dengan mahir.
Gadis itu kemudian bercerita :
" Tanah kami di rampok. Anak-anak kecil menangis seperti di paksa. Mereka keheranan melihat asap dan bunyi tembakan begitu meriah.
Tapi sayangnya!. Banyak yang tak tahu kejadian ini. Banyak yang kehilangan rasa memiliki antara sesama. Nama-nama solidaritas hanya berkumandang ditengah ajaran agama.
Manusia sibuk menjadi candu yang melestarikan akhlak kotor. Para cukong hanya menghabiskan kampanye untuk menumpuk janji.
Di dasar hati, ibuku menangis tanpa suara. Mati suri, hilang tak berduri."
Gadis tanpa gambar itu tiba-tiba berhenti. Ia berhenti bukan karena tak sanggup lagi bercerita. Ia hanya mencoba membiarkan sebentar air matanya mengalir dengan tenang.
Membiarkan segala luka mencari sebentar kesejukan.
" Di sini kami seperti maling. Tanah leluhur kami dijadikan kesepakatan tanpa pertimbangan. Kami hanya coba membelah isi rumah.
Tapi mengapa!?. Mengapa kami ditodong suara-suara bedil. Inikah adil di mulut kandil?. Ah, mimpi kami sudah buram menjahit bantal."
Untuk kedua kalinya ia berhenti bercerita lagi. Kali ini bukan tentang air mata. Ia hanya memperbaiki tubuhnya lalu berdiri menghadap langit.
" Aku ingin pulang. Pulang memeluk aroma dapur ibu dan dongeng kecil milik Ayah. Aku ingin segala yang ku lihat adalah terang dari bumi. Ini terlalu gelap dan terlihat begitu sunyi."