Ayah,
Di rumahmu yang nisan
Aku anakmu bersimbah air mata
Menghitung hari-hari sepi tanpa dirimu
Ayah,
Sampaikanlah pada surga
Bahwa aku anakmu belum menerima aturan takdirnya
Yang memanggilmu pulang
Di saat aku masih ingusan
Masih butuh kasih sayangmu
Ayah
Hari-hari terlalui berganti dekade
Aku masih berdiri di tanah yang fana
Belajar menerima realita
Tentang mata yang harus terbiasa
Menerima ketiadaan ayah
Di balai-balai dapur
Ayah
Bibirku selalu bergetar
Mengucapkan bait-bait kesedihan
Tatkala pikiran ini selalu mengenang
Sakitmu yang menyiksa
Tanpa kepedulian kerabatmu
Yang kau banggakan
Ayah
Apakah ini adalah drama hidup
Yang mana waktu sehatmu
Kau selalu dihormati dan dijunjung sanak saudara
Tapi saat sakitmu
Kau terbaring berbantal sepi
Yang dipenuhi omelan-omelan penghinaan
Dari sanak saudara
Ayah,
Bulir-bulir air mataku terus menetes
Perihal, terpejam matamu yang terakhir
Tanpa aku di sampingmu
Sehingga membuat aku memaki diriku dengan kasar
Bahwa aku tak bisa membuatmu bahagia
Dan menemanimu di detik-detik kau terpanggil pulang
Ayah,
Apa kabarmu di surga sana?
Apakah kau bisa merasakan
Beratnya hidupku
Yang menapaki jalan sengsara
Tanpa bisa mengadu segala polemik hidupku
Pada dirimu yang sangat bijak
Ayah,
Lihat dari atas
Aku bersama sepi
Selalu merebah di ranjang nestapa
Penuh gigil kesusahan
Bertahan hidup
Ayah,
Mungkin kasih sayangmu tak selembut belaian mamah
Tapi darimu aku belajar banyak hal
Bahwa hidup ini harus penuh perjuangan
Ayah,
Semoga selalu tenang di surga sana
Maaf aku terlalu berkeluh-kesah
Sebab aku masih membutuhkan sosokmu
Yang membimbing aku berjalan menatap masa depan