Setiap tahunnya Indonesia mengalami laju peningkatan penduduk yang cukup tinggi. Tingginya angka penduduk tersebut turut mempengaruhi konsumsi dan kebutuhan pangan rumah tangga. Salah satu kebutuhan pangan yang mengalami peningkatan yaitu kebutuhan akan konsumsi protein hewani. Terdapat tiga macam protein hewani yang menjadi minat konsumsi masyarakat Indonesia. Komoditas tersebut yaitu daging, susu, dan telur. Dari ketiga komoditas tersebut hanyalah komoditas daging sapi yang memiliki peminat yang cukup banyak.
Kandungan protein hewani yang sangat tinggi pada daging sapi menjadi faktor utama tingginya permintaan dari masyarakat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, konsumsi daging sapi di Indonesia dalam lima tahun terakhir bersifat statis. Rata-rata konsumsi daging sapi di Indonesia pada setiap minggunya berada pada kisaran 0,0090 kg per kapita. Walaupun demikian, pemerintah Indonesia menyampaikan bahwa Indonesia masih belum mampu dalam memenuhi stok daging sapi di dalam negerinya.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, kebutuhan daging sapi di Indonesia berada di kisaran 736.000 ton sedangkan produk daging sapi lokal hanya mampu menyediakan 445.000 ton.
Untuk mencukupi kebutuhan daging sapi di dalam negeri pemerintah melakukan beberapa kebijakan impor dengan melakukan kerjasama dengan beberapa negara pengekspor daging sapi. Berdasarkan data dari BPS terdapat enam negara pengekspor daging sapi di Indonesia. Negara tersebut ialah Australia, India, Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Spanyol.
Impor daging sapi di Indonesia sebenarnya sudah lama terjadi. Awalnya Indonesia melakukan impor daging sapi semenjak pemerintahan Hindia-Belanda, tepatnya di tahun 1917 silam. Waktu itu, Indonesia mengimpor sapi secara besar-besaran dari India. Tujuannya pada waktu itu untuk mengkawinkan sapi-sapi dari India tersebut dengan sapi lokal Indonesia, supaya menghasilkan kualitas sapi yang unggul di dalam negeri. Tren impor daging sapi juga terus dilanjutkan oleh Presiden Soekarno hingga kepada Presiden Jokowi saat ini. Alasannya cukup bervariasi seperti kemampuan peternak lokal yang tidak mampu menyediakan stok daging sapi dan harga daging sapi lokal yang tergolong cukup mahal.
Impor daging sapi di Indonesia menurut BPS pada tahun 2021 berada pada kisaran 273,53 ribu ton. Peningkatan tersebut lebih tinggi 22,43% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2021, Australia menjadi salah satu negara penyumbang daging sapi di Indonesia dengan total 44,92%. Selain Australia juga terdapat negara lain seperti India, Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Spanyol yang menjadi penyumbang impor daging sapi di Indonesia.
Persebaran produsen sapi di Indonesia cukup banyak di masing-masing daerahnya. Sebagian besar peternak tersebut tidak menjadikan sapinya sebagai penghasil daging melainkan sebagai tabungan dan sumber dari tenaga kerja (penghasilan). Tentu perilaku masyarakat seperti itu turut menjadi penyebab produksi daging sapi domestik tidak mampu memenuhi kebutuhan daging di dalam negerinya.
Rantai Distribusi Daging Sapi Lokal yang Panjang dan Rumit
Harga daging sapi lokal dan daging sapi impor memiliki perbedaan harga yang cukup jauh. Berdasarkan data dari BPS, rata-rata harga daging sapi di Indonesia pada bulan Desember 2022 mencapai Rp.150.000 per kilogram. Harga daging sapi Impor khususnya sapi dari Australia berada pada kisaran harga Rp.56.574 per kilogram. Terjadinya perbedaan harga yang cukup signifikan tersebut disebabkan oleh rantai distribusi daging sapi yang cukup rumit dan panjang. Rantai distribusi daging sapi lokal melewati tujuh sampai sembilan tahap yang terbilang cukup rumit dan panjang sebelum diterima oleh konsumen di pasaran.
Rantai distribusi daging sapi lokal proses pertamanya dimulai dari peternak. Peternak menjual sapi secara langsung kepada pedagang kecil di wilayah desa mereka atau melewati proses penggemukan sapi secara insentif. Tujuannya supaya sapi tersebut memiliki nilai jual dan bobot yang cukup tinggi. Setelah melewati proses pertama, sapi tersebut dijual kepada pedagang berskala besar. Kemudian, para pedagang berskala besar tersebut mulai menjual kembali kepada pedagang sapi di tingkat regional yang melingkupi wilayah provinsi, kabupaten, dan sejumlah pulau kecil.
Setelah melewati proses tersebut, sapi kemudian diletakkan di tempat penampungan ternak untuk menunggu pedagang dari pusat Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Daging sapi dari RPH tersebut kemudian dijual kepada pedagang grosir berskala besar. Kemudian disalurkan kepada pedagang grosir berskala kecil hingga kepada pedagang satuan di supermarket atau pasar tradisional. Setelah melawati proses yang cukup panjang dan rumit tersebut konsumen baru dapat membelinya. Proses distribusi daging sapi lokal yang cukup panjang dan rumit tersebut menyebabkan tambahan biaya sehingga harga daging lokal cenderung lebih mahal.