Mohon tunggu...
Leo Suwandi
Leo Suwandi Mohon Tunggu... -

Manusia pada dasarnya jahat, begitulah menurut Machiavelli namun di dalam lumpur tentunya ada berlian yang tersembunyi dan menunggu waktunya untuk bersinar yang senantiasa memberi harapan bagi mereka yang berjuang demi hal yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saatnya Para Seniman Diperhatikan

14 Maret 2014   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:56 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Awan mendung menyingkapi jagad seni Indonesia. Tepat sepekan sudah legenda lawak Tanah Air, Jojon, meninggalkan kita untuk menghadapa kepada sang Empunya Hidup. Kenangan serta canda khas dari almarhum tetap hinggap di ingatan para kolega serta masyarakat yang  akrab pada sosok berkumis bak Adolf Hitler ini. Totalitasnya dalam dunia lawak sudah tidak diragukan lagi, citra dirinya sebagai seorang pandir telah mengantarnya berada di urutan pelaku seni legendaris dan sebagai seorang putera terbaik yang dimiliki oleh dunia seni Indonesia. Sebelumnya, pada awal bulan Februari lalu, dunia seni Indonesia telah melepas putera terbaiknya lagi, yaitu drummer legendaris band Koes Plus, Murry.

Totalitas dan eksistensi dari dua legenda inilah yang membuat penulis berinisiatif mengangkat apa yang menjadi pandangan masyarakat banyak dan pemerintah mengenai individu yang melarutkan dirinya dalam dunia seni serta perlakuan semestinya bagi mereka.

Bagi sebagian besar orang yang memiliki pandangan konservatif pada umumnya. Seniman adalah seseorang yang identik dengan gaya urakan, lifestyle yang menjurus ke hedonis dan penghasilan yang tidak tetap karena masa edarnya yang sangat terbatas. Pandangan-pandangan ini membuat banyak orang tua mewanti-wanti anak-anak mereka untuk tidak memilih jalur ini sebagai jalan hidup karena mereka masih berpikir si anak nantinya akan menjadi "gembel" dan lebih menjuruskan anaknya kepada pekerjaan umumnya sebagai pekerja kantoran.

Budaya mainstream pada masyarakat serta kapitalisme dalam dunia hiburan juga menjadi faktor terpinggirkannya mereka, khususnya di Indonesia. Totalitas dari seorang seniman yang mencoba menunjukan jati dirinya lewat hal-hal berbeda diterjang oleh derasnya budaya pop luar seperti Barat ataupun Korea, Jepang dan lainnya yang sudah terinjeksi pada masyarakat luas serta industri kapitalis yang telah mengatur roda aktivitas dalam dunia hiburan yang menyebabkan penolakan secara tidak langsung bagi mereka yang total dalam mempertahankan identitas mereka. Tak jarang mereka juga harus mengkhianati apa yang telah mereka landaskan karena telah kalah oleh arus mainstream ini.

Ironi lainnya muncul dari sisi pemerintah. Pemerintah hanya menganggap mereka sebagai penyanyi atau pelakon biasa saja, tidak lebih dari itu. Mereka mengesampingkan kontribusi dari seniman-seniman ini. Kita bisa lihat dari apa yang dilakukan oleh Benyamin Sueb yang berjuang melestarikan budaya Betawi. Atau aksi dari Tony Koeswoyo dan Gombloh yang mempatri kebanggaan sebagai seorang Indonesia lewat lagu-lagu mereka.

Kisah ironis terjadi di negara tetangga kita Malaysia. Adalah P.Ramlee, seniman yang dianngap sebagai legenda besar di Malaysia yang mengalaminya. Seniman serba bisa, sutradara, aktor, musisi dan penyanyi, bisa dibilang ia bisa dibilang sebagai "Chaplin-nya Malaysia" dan banyak memenangkan penghargaan film internasional lewat film garapannya. Ironi itu hinggap di akhir masa kejayaanya pada pertengahan tahun 1960-an, dia mendapatkan penolakan dari seluruh insan perfilman dan menjadi bahan tertawaan serta olokan sebagai "macan tua yang tak bertaring" karena dianggap terlalu usang sehingga tak mampu bersaing dengan arus dan memang ketika itu juga Negeri Jiran tengah diserbu oleh film-film asing. P. Ramlee akhirnya meninggal dalam keadaan memprihatinkan, melarat dan patah hati karena telah diremehkan oleh beberapa pihak. Penyesalan itu pun datang terlambat, pemerintah Malaysia justru lebih memperhatikannya pasca kematiannya. Karya-karya kemudian dijadikan harta negara, rumah masa kecilnya di Penang dijadikan Museum serta pemerintah memberikan gelar kehormatan Dato Tan Sri kepadanya secara anumerta. Sungguh, suatu hal yang terlambat dilakukan bagi seseorang yang telah menjadi legenda karena totalitasnya.

Lain halnya dengan bagaiman Inggris memperlakukan legenda mereka yaitu grup kenamaan The Beatles. Di usia yang masih terbilang muda, keempat personil band asal Liverpool ini sudah digelari gelar Member of British Empire oleh Ratu Elizabeth, selain itu ketika John Lennon dan George Harrison wafat, pemerintah Inggris memperlakukan mereka bak seorang pahlawan dengan memberlakukan masa berkabung satu minggu serta pengibaran bendera setengah tiang bagi masyarakat Inggris.

Dari wacana diatas, kesimpulan yang bisa diambil adalah apa yang membuat seorang manusia biasa menjadi seorang seniman besar adalah karena totalitas dalam bidang yang mereka kerjakan,pembentukan jati diri mereka lewat penampilan fisik atau karya mereka serta sifat tidak mau diatur-atur oleh berbagai pihak kecuali diri mereka sendiri bukan lantas diatur oleh roda industri kapitalis yang memegang perputaran roda pasar yang menghendaki mereka mengubah diri sebagai boneka dari pasar yang sedang menjadi hal mainstream dalam masyarakat. Semoga kedepannya para seniman ini mendapat apresiasi lebih dari semua masyarakat dan juga pemerintah khususnya Indonesia atas segala totalitas dan pengorbanan yang telah mereka lakukan. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih dan selamat beristirahat kepada Jojon dan Murry, semoga semangat dan totalitas anda berdua dapat melecut kami yang masih muda ini untuk terus konsisten dan melakukan perbedaan. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun