Mohon tunggu...
Leo Sukarto
Leo Sukarto Mohon Tunggu... -

leosukarto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seperempat Gaji untuk Biaya Transportasi

28 Maret 2013   17:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:04 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walau Kemenhub, PT KAI, YLKI dan MTI telah sepakat menunda penghapusan kereta ekonomi non AC sampai e-ticketing berlaku, namun pagi ini masih ada aktivitas kecil para pendemo di stasiun Bekasi. Menariknya, kali ini ada preman yang mencari keributan dengan para inisiator demo. Untungnya, mereka cukup cerdas dengan mengalah dan tetap fokus pada perjuangan: kereta ekonomi tidak dihapus.

Bila dianalisa lebih jauh, sebenarnya penumpang KRL ekonomi non AC tidak menolak penghapusan kereta ekocenggo (ekonomi bayar cenggo/1500), namun mereka menolak kenaikan tarif tiket karena dipaksa naik kereta AC yang harganya jauh lebih mahal. Coba Anda hitung, selisih tiket AC dan Non AC itu Rp. 7.000 sekali berangkat. Kalau 22 hari kerja, maka selisih pengeluaran untuk beli tiket kereta saja Rp. 308.000 per bulan, dengan total pengeluaran Rp. 374.000.

Hitungan di atas hanya untuk tiket kereta saja, lho. Belum termasuk biaya parkir motor di stasiun Rp. 3.000/hari atau biaya angkot dari rumah ke stasiun pulang-pergi Rp.4.000 per hari. Ini juga belum termasuk dari stasiun ke tempat kerja.

Hitungan kasarnya, minimal pengeluaran transportasi 22 hari kerja: Rp. 440.000 (pengguna motor). Bila penumpang KRL itu misalnya penjaga toko, bekerja 26 hari dan dia juga pengguna angkot, maka yang dikeluarkan minimal Rp. 546.000. Artinya, sekitar 25% gaji hanya untuk transportasi. Sangat memberatkan.

Alasan penghapusan yang tidak menjawab pokok persoalan

Pihak yang pro pada penghapusan kereta ekocenggo, seperti Dahlan Iskan, Kemenhub, PT KAI, dll, menyatakan bahwa kereta ekonomi non AC dihapus karena kereta sudah tua, suku cadang sudah susah didapat, kereta sering mogok, penyeragaman pelayanan, dan keselamatan penumpang. Hal-hal ini bukanlah yang ditentang penumpang KRL. Pokok permasalahannya adalah harga tiket. Bila KAI/Kemenhub ingin mengganti kereta non AC dengan kereta AC, silakan saja. Yang penting, harganya tidak naik.

Lalu bagaimana caranya supaya kereta tahun 70-an itu diganti dengan kereta yang layak dan tiket tidak naik? Subsidi masih jadi solusi. Pengguna KRL Non AC cukup cerdas menuntut ini. Kalau pengguna mobil pribadi dapat subsidi BBM, kenapa pengguna KRL tidak mendapat subsidi? Disini kita, para pengguna KRL, harus menuntut anggota DPR untuk memberikan alokasi dana untuk kereta, Kita juga harus mencatat, saat ini tidak ada satupun partai yang peduli dengan penumpang KRL. Kalau cuma bicara jangan hapuskan kereta ekonomi, tukang ojek pun bisa bicara itu. Tetapi dimana kemampuan anggota DPR menentukan anggaran untuk KRL? Dimana kejelasan visi dan aksi angkutan massal?

Untuk anggota DPR, pejabat Kemenhub dan KAI yang mengusulkan agar menggunakan kartu miskin supaya mendapat subsidi tiket kereta, segera cabut usul itu. Jangan sampai kalian dipaksa untuk juga mengusulkan agar yang dapat subsidi BBM juga harus menggunakan kartu miskin. Kemenhub tidak boleh pilih kasih atau pro kendaraan pribadi, dan anti angkutan masal.

Perhatikan bus Transjakarta yang ber-AC mendapat subsidi, seharusnya pengguna KRL juga mendapat itu. Pemda DKI tidak boleh memungkiri bahwa Pemda DKI menikmati eksistensi penduduk JakartaCoret. Seharusnya sih ada kebijakan Pemda DKI disini. Misal, tiket KRL di Jakarta dipermurah Rp, 1.000 atau diskon bagi pengguna KRL yang melanjutkan perjalanan dengan Transjakarta.

Penutup

Kenapa pemerintah enggan memberi perhatian lebih pada KRL? Kenapa tidak ada aksi pro angkutan umum murah di Jabodetabek? Kurang cerdaskah pejabat republik kita? Bisa jadi mereka memang kurang cerdas karena ketika para pejabat itu masih kecil, mereka tidak mendapat asupan bergizi yang disebabkan tingginya biaya transportasi orangtuanya.

Dan 20 tahun ke depan, kita masih akan mendapati pejabat yang kurang cerdas yang tetap membiarkan ¼ gaji rakyatnya untuk biaya transportasi.…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun