Bonus? Siapa yang tidak senang mendengar kata bonus? Siapa pun orangnya pasti ingin mendapatkan bonus, dalam pekerjaan maupun dalam kegiatan yang lain. Tetapi dalam hal ini bonus dikaitkan dengan demografi yang berarti ilmu tentang perkembangan penduduk. Bonus demografi sendiri dapat diartikan sebagai kondisi suatu negara yang memiliki jumlah usia produktif lebih besar dibandingkan dengan jumlah usia nonproduktif. Usia produktif yang berkisar 15-65 tahun, sedangkan usia nonproduktif dibawah 15 tahun dan diatas 65 tahun. Jumlah usia produktif yang berlimpah inilah yang disebut sebagai bonus. Khususnya bonus demografi. Bonus ini hanya terjadi sekali dalam suatu penduduk negara. Butuh waktu ratusan tahun untuk mendapatkannya kembali. Itulah sebabnya bonus demografi disebut sebagai jendela peluang dunia.
Indonesia kini telah berada dalam kondisi bonus demogarfi, mesikpun belum sampai kepada titik klimaksnya. Bonus demografi di Indonesia diperkirakan berada pada tahun 2020-2030 dengan usia produktif mencapai 70 % atau 180 juta jiwa dan usia nonproduktif hanya 30% atau 60 juta jiwa. Hal ini berarti 100 usia produktif hanya menanggung 40-50 usia nonproduktif. Dengan jumlah usia produktif yang sangat besar sudah sepatutnya Indonesia memanfaatkan peluang ini sebaik-baiknya. Indonesia harus memperbaiki permasalahan infrastruktur di berbagai bidang dengan energi 180 juta jiwa yang tersedia. Pertumbuhan ekonomi kita harus meningkat dan pendapatan masyarakat harus menjadi lebih baik lagi. Para investor tentunya akan tertarik dengan energi usia produktif yang berlimpah di negeri kita pada 2020-2030 mendatang. Oleh sebab itu peta perencanaan bonus demografi harus dilakukan pemerintah sedini mungkin.
Tidak berhenti sampai disitu , sebuah pertanyaan timbul apakah 180 juta jiwa usia produktif Indonesia benar-benar akan menguntungkan negara? Jika kita kembali ke tahun 1950-an, usia produktif indonesia hanya berjumlah 50 juta jiwa.Survei terakhir tahun 2014, usia tenaga kerja indonesia mencapai 157 juta jiwa. Peningkatan usia produktif indonesia dari tahun 1950-2014 mencapai 3 kali lipat. Tetapi faktanya pertumbuhan ekonomi Indonesia, masalah ketenagakerjaan, pendapatan masyarakat tidak mengalami kemajuan yang pesat. Meskipun dari tahun ke tahun jumlah pengangguran di indonesia menurun, jumlah pengangguran 7,4 juta jiwa tetaplah besar.Jika bonus demografi tidak ditangani dengan serius, maka 180 juta jiwa usia produktif tersebut akan menjadi beban negara. Sebab tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi mereka. pengangguran akan bertambah, Indonesia akan semakin usang dengan berbagai konflik dan kriminalitas.
Meskipun banyak indikator dalam upaya pemanfaatan bonus demografi mendatang, tetapi penulis menyatakan ada satu hal yang paling mendasar yang harus diperbaiki yaitu “perbaikan kualitas sumber daya manusia Indonesia”. Perbaikan kualitas khususnya di bidang pendidikan. Saat ini tenaga kerja indonesia masih didominasi oleh pekerja yang pendidikan terkakhirnya hanya Sekolah Dasar. Tenaga kerja dengan pendidikan terakhir Sekolah Dasar mencapai 46,9%. Dengan kualitas pendidikan terakhir Sekolah dasar mencapai 46,9% dapat dibayangkan keahlian dan skill yang dimiliki oleh pekerja indonesia. Bukan berati pula tenaga kerja yang pendidikan terkahirnya SMP dan SMA memiliki kualitas yang lebih baik. Bahkan dari 7,4 juta jiwa pengangguran di Indonesia, di dominasi oleh tamatan SMP dan SMA dengan jumlah 2 juta jiwa. Banyak pihak yang mendesak pemerintah agar menerapkan wajib belajar 12 tahun dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Tetapi penulis berpendapat bahwa kualitas belajar tidak hanya didapatkan dari kuantitas belajarnya. Seharusnya dilakukan upaya perbaikan tenaga pendidik. Seorang guru harus mampu melahirkan siswa atau mahasiswa yang memiliki daya saing dan dapat diserap di pasar kerja yang layak. Perlu pengawasan yang serius untuk menjadikan guru benar-benar tauladan yang dapat diteladani. Selama ini dilema tenaga pendidik masih mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Masih dengan mudah ditemui tenaga pendidik yang tidak mampu memberikan peran besar terhadap kehidupan siswa ataupun mahasiswa. Kuantitas belajar juga harus didukung dengan kualitas pengajar, agar lama waktu untuk belajar tidak hanya menjadi tong yang kosong.
Beralih ke tenaga kerja dengan pendidikan terakhir sarjana, terjadi fenomena yang cukup menarik. Yaitu adanya ketidaksesuaian antara lulusan yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Saat ini 82,5 % sarjana di Indonesia adalah akademisi, hanya 17,5 % saja yang berjurusan teknisi. Dan ternyata fakta dilapangan menunjukan bahwa 75% tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan atau masyarakat adalah tenaga teknisi. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan ialah di zona pesisir, Indonesia memiliki 2,9 juta ha potensi tambak yang hanya 22% dapat terealisasikan. Dari 12,5 juta jiwa tenaga kerja yang dibutuhkan untuk potensi tambak tersebut, hanya 2,5 persen dapat terealisasikan. Hal ini terjadi karena tidak adanya teknisi di indonesia yang dapat dipekerjakan di bidang ini. Tentu saja ini membuka celah yang sangat besar bagi pekerja asing untuk masuk dan menjadi teknisi di Indonesia. Pada tahun 2008 lalu, pekerja asing di Indonesia mencapai 68 ribu jiwa dan di diprediksi akan terus meningkat seiring kebutuhannya.
Dekan Fakultas Ekologi Manusia di salah satu universitas di Jawa menyatakan bahwa “kurikulum pendidikan khususnya perguruan tinggi harus mendorong mahasiswanya agar menjadi pengusaha atau berbisnis, tidak memaksakan mereka menjadi peneliti atau tenaga profesional”. Mengutip pernyataan beliau maka penulis mendukung bahwa mahasiswa harus mampu menciptakan sebuah lapangan pekerja, tidak hanya mencari lapangan pekerjaan. Keseimbangan antara tenaga akademisi dan teknisi harus segera dilakukan agar tidak menghambat bonus demografi mendatang.
Pemerintah sebagai nahkoda kapal negara harus segera menciptakan program yang mampu menjaga usia produktif indonesia bekerja secara layak. Peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pendidikan harus dilakukan dengan serius sebagai kunci pemanfaatan bonus demografi. Karena sumber daya manusia yang berkualitas akan menciptakan produktivitas ekonomi yang berkualitas pula. Masyarakat harus sadar bahwa dirinya tidak akan pernah lepas dari pendidikan, tanpa pendidikan seluruh yang ada di muka bumi tidak akan pernah dapat dinikmati. Seluruh lapisan masyarakat sudah sewajibnya ambilbagian dan bertanggung jawab terhadap bonus demografi agar tidak menjadi malapetaka demografi. Jangan pernah mengubah kesempatan emas ini menjadi perak dan mengubah perak menjadi perunggu, apalagi merubah perunggu menjadi lempengan besi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H