Mohon tunggu...
Travel Story Pilihan

Live in & Pengabdian Masyarakat Senat Fisipol UKI di Baduy Luar

23 September 2016   08:28 Diperbarui: 23 September 2016   09:27 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegiatan live in & pengabdian masyarakat ini dilaksanakan oleh Senat Fakultas IlmuSosial dan Politik - Universitas Kristen Indonesia (Fisipol UKI) Divisi III "Pengabdian Masyarakat" kepada warga dan anak-anak Desa Gajeboh, Baduy Luar pada 23 - 26 Februari 2016 Kegiatan ini dilakukan dalam rangka menjalankan tridarma perguruan tinggi yang ketiga, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Kegiatan yang berlangsung selama empat hari ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa untuk menyatu dengan alam dan menyelami kehidupan suku Baduy Luar. Kami mahasiswa diperbolehkan tinggal di rumah-rumah warga desa Gajeboh dan mengikuti kegiatan mereka sehari-hari.

Baduy Luar merupakan desa yang dimana orang - orang telah keluar dari adat Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Baduy Dalam ke Luar. Mereka melanggar adat Baduy Dalam, melanggar peraturan yang ada, berkeinginan untuk keluar dari Baduy Dalam dan orang Baduy Dalam menikah dengan anggota Baduy Luar. Pada dasarnya peraturan yag ada di Baduy Luar dan Baduy Dalam itu hampir sama, tapi Baduy Luar sudah mengenal teknologi dibanding Baduy Dalam yang masih mempertahankan adat istidat nenek Moyang mereka. Kegiatan pertama mahasiswa di desa Gajeboh, Baduy Luar ini adalah membantu salah satu warga untuk memanen kadu atau yang kita sebut durian. Butuh waktu 45 menit untuk menuju pohon durian melewati pinggir-pinggir sungai, melewati hutan-hutan sampai akhirnya terlihat lah pohon durian yang sangat besar dan tinngi. Sebeleum memanen biasanya terlebih dahulu proses pengikatan buah itu memakan waktu seharian per pohon. Durian yang diikat adalah buah yang kulitnya mulai mengeras. Buah-buah yang sudah matang dan terlepas dari tangkainya tampak bergelantungan terikat tali di dahan-dahan pohon. Itu lah yang akan kita ambil akan tetapi berhubung pohon duriannya sangat tinggi kami hanya menunggu dibawah pohon dan diikat untuk dibawa ke Gajeboh.

Foto perjalanan menuju pohon kadu (durian)
Foto perjalanan menuju pohon kadu (durian)
Kemudian selanjutnya mahasiswa wanita membantu Ibu-Ibu desa Gajeboh untuk menenun pakaian khas mereka. Masyarakat Baduy yang tinggal di Desa Kenekes juga memiliki tradisi dan adat istiadat yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Salah satu tradisi itu adalah menenun. Kegiatan menenun bagi Suku Baduy merupakan kegiatan yang dilakukan oleh kaum wanita. Umumnya sejak usia dini mereka diajarkan bagaimana cara untuk menenun kain.

Foto suasana menenun
Foto suasana menenun
Pada hari kedua,kami melakukan kegiatan pengajaran mewarnai dan membuat kertas origami. Menurut peraturan desa yang berlaku, kaum pendatang tidak diperbolehkan untuk memberi pelajaran membaca ataupun hitung-hitungan kepada anak-anak desa Baduy. Pada awalnya anak-anak desa tersebut kurang bisa menerima kami, namun dengan upaya keras akhirnya kami bisa mengajak dan meyakinkan mereka kalau kami berniat baik. Terlihat dari raut wajah anak-anak tersebut yang masih malu-malu tapi seiring dengan waktu,kebekuan itu pecah juga dengan tawa canda kami.

Foto suasana mewarnai
Foto suasana mewarnai
Hari ketiga kami membagikan alat-alat tulis kepada anak-anak di dua desa di Baduy Luar. Nampak sekali keceriaan yang terpancar di wajah mereka. Terlihat senyum polos anak-anak yang belum tersentuh kemajuan teknologi dan pendidikan formal.

Foto pembagian pensil warna & buku warna
Foto pembagian pensil warna & buku warna
Dan sore harinya kami bergotong royong untuk membersihkan desa terutama di bantaran sungai yang dimana sungai itu adalah tempat mereka mandi, mencuci dan sampai buang air besarpun disitu.

Foto suasana sungai
Foto suasana sungai
Keesokan harinya adalah hari keempat dimana ini merupakan hari terakhir kami di Baduy Luar. Tak terasa sudah empat hari lamanya kami meninggalkan rutinitas kita di ibukota. Tak lupa sebelum pulang kami memberikan bantuan sembako kepada keluarga yang sudah memberikan tumpangan tempat tinggaldan juga kenang-kenangan kepada Jaro (Kepala Desa) yang diwakilkan oleh istrinya.

Foto pemberian kenang-kenangan
Foto pemberian kenang-kenangan
Kegiatan yang berlangsung selama empat hari ini sungguh sangat mengesankan bagi kami. Selama itu pula kami belajar hidup tanpa sinyal telepon, listrik dan toilet yang memadai. Ini merupakan pengalaman yang baru bagi kami untuk belajar hidup jauh dari kemewahan dan kemegahannya ibukota. Orang-orang Suku Baduy telah memberikan kami kesempatan untuk belajar bertahan hidup dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan, sambil tak lupa tetap bersyukur atas anugrah hidup yang telah diberikan Tuhan. (Leo Sagala)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun