Mohon tunggu...
Leopoldus Giovani Sitohang
Leopoldus Giovani Sitohang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Frater Serikat Sabda Allah (SVD)

Mahasiswa STFT WIDYA SASANA Malang

Selanjutnya

Tutup

Love

PACARAN BERBEDA AGAMA

31 Juli 2021   08:23 Diperbarui: 16 Agustus 2021   22:55 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kamu mengalami hambatan atau tantangan dalam menjalin suatu hubungan (berpacaran) dengan seseorang? Sebelum menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus mengakui bahwa suatu hubungan tidak selalu berjalan mulus. Ending dari suatu hubungan itu pun tak selalu bahagia, tidak seperti kebanyakan drama romantis yang sering kita tonton. Nah, kalau kita bertanya apa yang membuat suatu hubungan tidak selalu berjalan mulus dan apa yang menyebabkan hubungan tidak selalu berakhir bahagia, tentu ada banyak factor penyebab. Salah satu fakor penyebabnya ialah kesulitan dalam menerima perbedaan.

Salah satu tatangan atau kesulitan terbesar dalam mempertahankan suatu hubungan ialah "menerima perbedaan". Kalau ditanya lagi perbedaan seperti apa? Tentu sangat banyak perbedaannya. Misalnya, secara psikologis saja laki-laki dan perempuan itu sangat jauh berbeda. Laki-laki biasanya sangat rasional sedangkan perempuan sangat emosional. Belum lagi masing-masing dari mereka berbeda suku, budaya, minat-bakat, kesukaan, kebiasaan, karakter, cara pikir, dsb. Akan tetapi, dari sekian banyak perbedaan, ada satu perbedaan yang menjadi tantangan dan hambatan besar dalam menjalin suatu hubungan, yaitu perbedaan agama.

Bagi kamu yang sedang berpacaran atau menjalin hubungan dengan seseorang yang berbeda keyakinan denganmu, barangkali kamu sedang berada dalam situasi yang sangat dilematis. Mungkin saja ada banyak pertanyaan yang sedang berkecamuk dalam hati dan pikiranmu. "Kira-kira hubungan kami ini diterusin gak ya? Gimana dengan agama kami? Dia mau gak ya pindah agama? Atau, haruskah aku aja yang pindah agama? Gimana kalau nanti aku gak cocok dan gak nyaman dengan agamanya? Lagian apa kata keluargaku nantinya? Keluargaku setuju gak ya? Gini aja, gimana kalau kami nikah beda agama aja? Memangnya dalam Gereja Katolik boleh? Memangnya dalam agamanya boleh? Lagian, dia mau gak ya nikah beda agama? Kalaupun mau, tapi nanti rumah tangga kami gimana jadinya ya? Gimana dengan anak-anak? Anak-anak kami agamanya apa? Nilai agama apa yang harus kami ajarkan ke anak-anak kami? Rumah tanggaku kira-kira bakalan harmonis gak ya?" Sangat kompleks dan dilematis bukan?

Orang muda sekalian, penulis bukan bermaksud ingin mengatakan bahwa hubungan sepasang kekasih yang berbeda agama tidak akan pernah harmonis atau langgeng. Bukan! Penulis hanya ingin berpendapat bahwa banyak problem yang akan timbul dalam hubungan pasangan yang berbeda agama. Sering kali pasangan-pasangan baru menyadari adanya problem yang timbul dari perbedaan agama, ketika saat mendekati perkawinan atau baru menjalani kehidupan rumah tangga. Sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin memberikan sedikit pandangan Gereja Katolik dan pandangan personal tentang pernikahan beda agama, serta problem yang akan timbul. Tulisan ini tentu tidak komprehensif, akan tetapi semoga saja dapat membantu dan menjadi bahan pertimbangan.

Pernikahan beda agama dalam Gereja Katolik disebut dengan "kawin-campur". Memang dulunya Gereja Katolik menolak kawin-campur, tetapi sekarang tidak lagi. Sederhananya, kini Gereja Katolik tetap akan merestui pernikahan beda agama (kawin-campur), hanya saja prosedurnya yang nantinya berbeda. Kita juga perlu mengetahui bahwa, sesunggunya menurut Gereja Katolik, perkawinan yang paling ideal itu adalah perkawinan sacramental. Perkawinan sacramental maksudnya perkawinan antara dua orang yang sama-sama di baptis dalam Gereja Katolik. Semua agama juga barangkali mengidealkan perkawinan yang demikian (perkawinan antara sepasang kekasih yang seiman).

Gereja Katolik memandang bahwa dalam setiap perkawinan, suami-istri harus selalu membangun persatuan hidup dan cinta kasih dalam semua aspek. Menurut Gereja persatuan semacam ini akan lebih mudah terwujud apabila pasangan suami-istri memiliki kesamaan iman. Mengapa? Alasannya karena pengaruh iman itu sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri. Pengaruh iman sangat kuat terhadap pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga. Kesatuan iman akan membuahkan kesatuan dan keselarasan antara suami-istri dalam cara hidup dan cara pandang, terutama keselarasan dalam nilai-nilai religius dan moral.

Secara manusiawi dan psikologis suami-istri beda-agama akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan persatuan hidup intim dan kasih, yang pada dasarnya melibatkan unsur paling mendalam dari pribadi suami dan istri. Di awal perkawinan saja sudah ditandai dengan perbedaan dan kerenggangan di antara suami-istri dalam hal-hal yang amat mendasar dan batiniah, yaitu keyakinan iman. St. Ambrosius pernah memberikan ajaran bijak: "Jika demikian halnya dalam relasi-relasi lain, terlebih lagi di dalam perkawinan, di mana suami-istri menjadi satu daging dan satu jiwa. Bagaimana mungkin ada keselarasan cinta-kasih bilamana tidak terdapat kesesuaian iman? Bagaimana mungkin bisa disebut suami-istri bila tidak ada kesesuaian iman? Berhubung harus ada pembicaraan dan pemikiran bersama di antara suami-istri, bagaimana mungkin bisa terjadi cinta-kasih bersama bila ada perbedaan devosi di antara mereka?" 

Singkatnya, pasangan suami-istri yang memiliki kesamaan iman tentu akan "jauh lebih mudah" mencapai dan mewujudkan persatuan hidup dan cinta kasih, bila dibandingkan dengan pasangan suami-istri yang beda-agama. Alasannya karena perbedaan keyakinan iman tentu akan menciptakan perbedaan perilaku dan tindakan dalam aktivitas bersama, khususnya perbedaan dalam pendidikan iman serta moral anak-anak. Apalagi bila masing-masing pasangan bersikukuh atau bersikap fanatik terhadap agama masing-masing, maka persatuan hidup dan cinta kasih akan semakin sulit dicapai dan diwujudkan.

Kemudian hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan ialah pendidikan anak. Suami-istri yang berbeda agama juga akan mengalami kesulitan atau hambatan dalam mendidik iman anak. Cobalah bayangkan bagaimana cara suami-istri yang berbeda agama mendidik iman anak mereka? Nilai iman apa yang harus mereka tanamkan? Bagaimana dengan agama anak-anak nantinya? Apakah agama anak-anak juga nantinya akan dibagi-bagi, misalnya anak yang satu harus mengikuti agama ayah, sedangkan satunya lagi harus mengikuti agama ibu? Bagaimana orangtua menjawab bila suatu saat anak bertanya, mengapa mereka harus mengikuti agama ibu/ayah? Kemudian, memilih jalan kompromistik pun tampaknya kurang tepat juga. Jalan kompromistik maksudnya di mana orangtua tidak memberikan pendidikan iman apapun kepada anak. Orangtua membiarkan anak memilih sendiri keyakinan agama yang paling sesuai dengan mereka. Sungguh kompleks bukan?

Orang muda sekalian, logika sederhananya, bila pasangan yang memiliki kesamaan iman saja sering mengalami kesulitan dalam membangun persatuan atau kebersamaan, dan dalam mendidik anak-anak, apalagi pasangan yang berbeda agama! Memang ada banyak yang mengatakan bahwa "Semua orang berhak untuk dicintai dan mencintai. Cinta itu buta, tak memandang apa pun. Perbedaan agama bukan alasan untuk tidak saling mencintai. Perbedaan agama tidak akan dapat memisahkan cinta, karena cinta dapat menyatukan segala perbedaan, dsb.." Apakah optimisme dan romantisme demikian akan menjadi kenyataan? Bisakah kita menjamin itu? Bukankah jauh lebih baik dan jauh lebih mudah, serta jauh lebih indah hidup bersama dan membangun keluarga dengan satu keyakinan? Pasangan yang disatukan atas dasar kepercayaan atau iman yang sama saja masih bisa terpisahkan, apalagi pasangan yang berbeda keyakinan? Bisakah cinta menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun