PKS meski punya militansi dan kaderisasi yang kokoh, akan sulit menjadi partai papan atas nasional. Segmen pemilih yang terlalu captive (pengikut Ikhwanul Muslimin) membuat partai ini lambat berkembang. Suaranya melesat ketika situasi politik nasional bernuansa politik identitas. Tidak adanya tokoh sentral membuat partai ini rawan perpecahan elit. Contohnya Partai Gelora lahir akibat perpecahan elit-elit PKS.
PSI sempat dianggap membawa harapan baru. Gerakan anak-anak muda yang didukung konglomerasi ini sempat menghadirkan warna baru, aktif di Sosmed, pro minoritas, bangun narasi anti korupsi. Akan tetapi narasi yang dibangun sering tidak sejalan dengan kepentingan politik praktis mereka. Makanya PSI diam membisu saat terbitnya UU yang melemahkan KPK, karena ia berkepentingan untuk berada di pemerintahan Jokowi. Eksistensi PSI adalah zero sum game bagi PDIP karena basis pemilihnya relatif sama. Naiknya suara PSI akan menggerus suara PDIP. Wajar jika politisi dari kedua partai tersebut tidak akur, meski sama-sama satu kubu.
Meski memainkan media sosial dengan baik, tidak adanya tokoh sentral yang kuat dan jaringan yang mengakar, akan sulit bagi PSI untuk masuk jadi papan atas. PSI kyaknya PKS dalam ranah ideologi yg berseberangan.
Dari pemetaan di atas, ada benang merah yang bisa kita tarik terkait peluang dan tantangan partai-partai di Indonesia untuk masuk papan atas.
Pertama adalah regenerasi pucuk pimpinan. Partai harus dipimpin oleh figur yang kuat dan bisa mempersatukan partai dan diterima publik secara luas. Kedua adalah kaderisasi. Ketiga posisi politik di pemerintahan memberikan ruang yang luas bagi partai untuk mengembangkan partainya. Keempat narasi. Partai-partai harus mampu membangun narasi yang membuat partai tersebut berbeda dan cocok dengan segmen pemilih mayoritas.