Mohon tunggu...
Leontiynenda
Leontiynenda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

ambivert

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Book Sosiologi Hukum

30 September 2024   20:26 Diperbarui: 30 September 2024   20:34 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya Leontiynenda Amalia K ( 222111069) dari UIN Raden Mas Said Surakarta, Prodi Hukum Ekonomi Syariah. Saya akan mereview buku dengan judul Sosiologi Hukum.

Penulis : Manotar Tampubolon,Abdul Hamid, Mia Amalia, Herniati,Mahrida,Fahmi Assulthoni,Geofani Milthree, Zuhdi Arman.

ISBN : 978-623-198-081-6

Penerbit : PT GLOBAL EKSEKUTIF TEKNOLOGI . Anggota IKAPI No.033/SBA/2022

SOSIOLOGI HUKUM

Pengertian Sosiologi Hukum

     Sosiologi adalah studi yang meneliti proses sosial, struktur masyarakat, perubahan yang terjadi, serta perkembangan, sifat, dan perilaku manusia di dalamnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani "logos," yang berarti ilmu pengetahuan, dan kata Latin "socius," yang berarti teman atau kawan. 

Karakteristik dan Manfaat Sosiologi Hukum

     Berdasarkan pendapat Satjipto Rahardjo, sosiologi hukum merupakan ilmu yang mengkaji tentang peristiwa hukum (Satjipto, 1983). Menurut pandangan tersebut, Satjipto Rahardjo memberi sejumlah karakteristik studi dengan cara sosiologis, antara lain:

  • sosiologi hukum bertujuan untuk memahami bagaimana hukum dijalankan dalam praktik, dengan meneliti faktor-faktor yang memengaruhi proses peradilan, pembuatan, dan penerapan hukum. Pendekatannya, seperti yang diuraikan oleh Max Weber, adalah "pemahaman interpretatif" yang menjelaskan sebab-akibat serta perkembangan perilaku sosial terkait hukum. Sosiologi hukum mencakup studi terhadap perilaku manusia yang mematuhi maupun yang melanggar hukum, menjadikannya bagian penting dari kajian ilmu ini.
  • Sosiologi hukum selalu menguji empirical validity (kesahihan empiris) dari sebuah pernyataan atau peraturan hukum.
  • Sosiologi hukum tidak membuat "penilaian" terhadap hukum. Perbuatan yang taat hukum dan perbuatan yang menyimpang dari hukum dikenakan pengawasan yang sama. Dia tidak menghargai satu sama lain. Fokus utamanya hanya pada mendeskripsikan objek yang diteliti.Pendekatan ini banyak menimbulkan kesalahpahaman, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan tindakan yang melanggar hukum atau illegal. Sekali lagi, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian apapun, namun memandang hukum dari sudut pandang obyektif semata dan bertujuan untuk menjelaskan fenomena hukum yang nyata.

Sosiologi Hukum Menurut Max Weber (1864-1920)

     Aliran Pemikiran Max Weber yaitu "seorang sarjana dalam bidang hukum, dengan demikian bisa mengkaji hubungan hukum dengan masyarakat. Dari hal tersebut, Max Weber sebagai orang yang menemukan masyarakat dan hubungan hukum, dan melalui pemikirannya, banyak lahir para ahli Sosiologi hukum". Teori Max Weber juga memandang law it is action. Dengan demikian Weber tidak melihat dari Law is written in the book. Beliau pun dapat membedakan antara konvensi dan kebiasaan.kelebihan dari teori Max Weber ialah objek kajian dari Weber merupakan pola perilaku masyarakat, dengan demikian setiap masyarakat akan mempunyai penerapan dan struktur hukum yang berbeda. 

Sosiologi Hukum Emile Durkheim(1858-1917)

    Emile Durkheim dari Perancis merupakan tokoh penting dalam mengembangkan sosiologi berdasarkan ajaran klasik. Dalam teori sosialnya, Durkheim sangat menekankan pada aturan dan peraturan hukum yang berkaitan dengan bentuk solidaritas dalam masyarakat. Teori ini disebut teori struktur fungsional (fungsionalis teori), Teori ini mempertimbangkan konsep tatanan sosial dan  bagaimana masyarakat dapat hidup  harmonis berdasarkan konsep ini.Teori ini mempertimbangkan tingkat makro dengan menilai bagaimana aspek-aspek masyarakat dapat berfungsi. Teori fungsionalis menguraikan gagasan Durkheim dan dijelaskan dengan menggunakan pendekatan sistem.

    Teori Durkheim seperti halnya yang dipaparkan dengan singkat berupaya mengaitkan "hukum dengan struktur sosial. Hukum digunakan sebagai sarana diagnosa untuk menemukan persyaratan struktural terhadap perkembangan solidaritas masyarakat. Hukum dilihat sebagai dependent variable, yakni unsur yang bergantung terhadap struktur sosial masyarakat, namun hukum juga dilihat sebagai alat untuk mempertahankan keutuhan masyarakat atau untuk menetapkan terdapatnya perbedaan-perbedaan pada masyarakat"

Pengertian Sosiologi Hukum Islam

     Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi hukum adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.[1] Sosiologi hukum Islam terdiri dari tiga kata dasar yakni sosiologi, hukum, dan Islam. Jika dipisah, ketiganya memiliki perbedaan makna yang sangat tampak. Sosiologi hukum Islam memiliki arti kajian tentang fenomena hukum Islam dalam perspektif ilmu-ilmu sosial. Disiplin ilmu ini mengkaji tentang penerapan hukum Islam di masyarakat, gejala sosial berdasarkan aturan hukum Islam secara normatif. Secara singkat bisa diartikan bahwa sosiologi hukum Islam berbicara tentang hubungan timbal balik antara masyarakat dan norma hukum Islam. sosiologi hukum Islam sangat diperlukan agar hukum-hukum Allah dapat diterapkan dengan baik dan bijak oleh masyarakat. seperti yang diketahui, tidak semua perilaku sosial manusia diungkap status hukumnya secara rigid dalam teks-teks wahyu. Bahkan sebagian besar narasi hukum sengaja dibuat dengan format umum untuk memudahkan manusia menentukan 'hukum baru' sesuai dengan kebutuhan mereka

Ruang Lingkup Kajian Sosiologi Hukum Islam

    Ruang lingkup sosiologi hukum berdasarkan pendapat Soerjono Soekanto meliputi: pola perilaku hukum yang dilakukan oleh manusia; perilaku manusia dan hukum yang berlaku merupakan manifestasi dari kelompok sosial masyarakat; dan hubungan timbal-balik antara perubahan hukum dan perubahan sosial budaya sebagai bentuk adanya pengaruh antara satu dan yang lainya.

Karaakteristik Sosiologi Hukum Islam 

     Pada sub-bab ini, penulis menyadur sosiologi hukum dalam buku Sosiologi Hukum karya Zainuddin Ali ke dalam sosiologi hukum Islam pada kajian ini. Berdasarkan pengertian dan ruang lingkup sosiologi hukum Islam di atas, maka dapat dipahami bahwa karakteristik sosiologi hukum Islam yaitu fenomena hukum Islam di kalangan masyarakat dalam rangka mewujudkan:

  • Deskripsi (gambaran) secara utuh. Sosiologi hukum Islam berusaha memberikan deskripsi atau gambaran pelaksanaan hukum Islam di masyarakat. Hal ini juga berlaku pada konteks legislasi hukum Islam, berikut juga penerapannya dalam praktik pengadilan.
  • Penjelasan, Sosiologi hukum Islam berusaha menjelaskan dan menjawab pertanyaan; mengapa suatu praktek hukum Islam dalam kehidupan masyarakat terjadi?, sebab-sebab, dampak, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya praktek tersebut, latar belakang dan lain sebagainya.
  • Perspektif/sudut pandang masyarakat atau pengungkapan (revealing). Sosiologi hukum Islam tidak bisa menerima fakta yang tampak secara indrawi saja. Kajian ini berangkat dari asumsi bahwa segala yang terlihat secara kasat mata bukanlah esensi perilaku hukum Islam yang sebenarnya.
  • Karakteristik sosiologi hukum Islam berikutnya adalah terletak pada uji validitas secara empiris suatu kaidah hukum Islam dan atau produk hukum Islam tersebut. Kajian hukum Islam dengan pendekatan sosiologi menekankan kajiannya pada suatu prediksi tentang hukum Islam apakah sesuai atau tidak dengan kondisi masyarakat tertentu. Pada intinya, sosiologi hukum Islam berusaha menguji hukum-hukum normatif dengan data empiris.

Peradilan Sebagai Objek Pembahasan di Dalam Sosiologi Hukum

     salah satu kajian penting dalam sosiologi hukum adalah faktor-faktor penegak hukum, salah satunya adalah Pengadilan. Pengadilan menjadi salah satu objek pembahasan yang sangat penting dalam sosiologi hukum karena Pengadilan megang peranan penting dalam penegakan hukum. Harry C. Bredemeier berpandangan bahwa yang menjadi tugas dari Pengadilan adalah untuk membuat suatu putusan yang mencegah konflik dan gangguan terciptanya kerja sama.Mengenai sosiologi Pengadilan akan dapat dimaknai melalui pandangan Soerjono Soekanto di dalam bukunya. Soerjono Soekanto berpandangan bahwa peranan daripada struktur Pengadilan, komposisi para Hakim, jalannya sidang, biaya yang diperlukan dan lain sebagainya yang berkenaan dengan proses peradilan merupakan hal-hal yang sangat penting untuk dilakukan pengkajian secara ilmiah.

Pengadilan dan Struktur Sosial 

     Satjipto Rahardjo berpandangan bahwa sosiologi hukum merupakan pengetahuan hukum yang mengkaji tentang pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.[1] Konteks sosial yang dimaksud dalam hal ini juga termasuk adalah struktur sosial, yaitu jalinan unsur-unsur sosial yang pokok. Firth mengatakan bahwa struktur sosial mengacu pada hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin dilakukan secara organisatoris.  

     Kemudian, Radeliffe -- Brown membedakan antara kebudayaan suatu masyarakat dari sistem sosial dan struktur sosial. Ia berpandangan bahwa kebudayaan masyarakat mencakup pola perilaku, pola berfikir dan perasaan sedangkan struktur sosial mencakup semua hubungan sosial antara individu-individu pada saat tertentu. Sehinga, pada intinya struktur sosial merupakan keadaan statis dari sistem sosial yang bersangkutan. Melalui struktur sosial, akan dapat dipelajari secara ilmiah mengenai suatu kebudayaan. Hal yang hampir sama juga disampaikan oleh R. Lowis yang berpandangan bahwa analisis terhadap struktur sosial sebagai salah satu aspek dari studi terhadap kebudayaan. Pada akhirnya, Soerjono Soekanto mengambil suatu kesimpulan bahwa struktur sosial merupakan jaringan unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Adapun unsur-unsur sosial yang dimaksud tersebut terdiri dari kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial dan kekuasaan serta wewenang.

Pluralisme Hukum di Indonesia 

     Pluralisme yang sah sering diartikan sebagai keragaman peraturan. Seperti yang ditunjukkan oleh John Griffiths, pluralisme yang sah adalah adanya mutiple hukum dan ketertiban dalam iklim sosial. Intinya, pluralisme yang sah mengirim analisis tentang yang seharusnya sebagai filosofi sentralisme yang sah. Sentralisme yang sah mengartikan regulasi sebagai "regulasi negara" berlaku secara konsisten untuk semua orang di lingkungan negara itu. Oleh karena itu, hanya ada satu peraturan yang berlaku di negara, khususnya peraturan negara.

     Dalam positivisme kita diajarkan berhukum secara kaku, hukum yang dipahami adalah hukum yang disepakati secara baku sehingga menutup peluang seorang hakim untuk menyelesaikan perkara yang tidak ada pengaturannya di dalam aturan perundangundangan, sehingga banyak persoalan hukum yang tidak terwadahi di peradilan umum.Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak dapat dipisahkan dari berbagai hal reaksi, antara lain: (1) pluralisme hukum dipandang tidak turun-temurun batasan berdasarkan syarat sah yang digunakan; (2) pluralisme yang sah dianggap kurang mempertimbangkan variabel yang mempengaruhi struktur skala penuh keuangan sentralisme yang sah dan pluralisme yang sah.

     Selain itu, pluralisme hukum digunakan untuk mendorong negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Ditetapkannya peraturan tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen kedua tahun 2000 merupakan salah satu keberhasilan gerakan ini. Selain itu, dampak pluralisme hukum tidak lepas dari lahirnya TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 yang mengatur tentang reforma agraria dalam kaitannya dengan masyarakat adat.

Pluralisme Hukum dengan Advokasi Hak Masyarakat.

     Perkembangan Indonesia dari sekumpulan kepulauan yang disebut Nusantara yang terdiri atas berbagai ragam etnis, ras, agama dan ideologi berserta seperangkat ketentuan yang berbeda tiap satu dan lainnya atau bahkan bertolakbelakang seperti adanya etnik dengan corak feodal dan etnik dengan corak demokratis.

      Adanya perbedaan persepsi antara pemerintah (presentasi negara) dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan, dalam sudut pandang masyarakat bahwa sejengkal tanahpun sudah ada pemiiknya yang dikenal dengan konsep ulayat namun naas dalam pandangan negara bahwa tanah, air dan udara adalah milik negara dan jadi negara yang berhak menentukan tanah tersebut milik siapa. Ternyata memang benar, kenyataan memperlihatkan bahwa hak-hak atas lahan banyak diberikan oleh negara kepada konsesikonsesi tambang dan perkebunan sedangkan masyarakat sendiri hanya melongo melihat tanah-tanah leluhur mereka digarap dan berubah menjadi kebun sawit dan pertambangan biji besi dan batubara sedangkan mereka tetap miskin. Kasarnya, negara seolah berlindung dibalik pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 untuk membenarkan hal demikian. Kepemilikan atas lahan dibuktikan dengan sertifikat padahal ada daerah di Indonesia ini yang tidak bisa melakukan hal tersebut dan bahkan dikhawatirkan akan merusak tatanan sosialnya. Sumatera Barat 143 contohnya, Sertifikasi lahanlah yang pada akhirnya banyak memunculkan oknum-oknum ninik mamak yang tega menjual harta pusaka leluhurnya, mengambil keuntungan sendiri sehingga anak kemenakannya menjadi terlantar- kemiskinan- bukankah negara ini ingin memberantas kemiskinan.

Melalui advokasi untuk masyarakat adat di Indonesia, gerakan perubahan hukum mengembangkan pluralisme hukum.Pluralisme hukum digunakan untuk mempertahankan tanah masyarakat yang telah diambil dari mereka oleh negara atau aktor swasta dalam pengaturan ini. Berbeda dengan hukum tanah, yang 144 memberikan legitimasi terhadap perampasan tanah ulayat, hukum adat didemonstrasikan. Bagaimanapun, UUPA menawarkan peluang berkat peraturan yang mengakui keberadaan tanah ulayat. Singkatnya, konsep pluralisme hukum digunakan untuk mengembalikan hukum adat dalam upaya untuk melindungi sumber daya alam masyarakat adat dari perampasan yang disahkan oleh negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun