HUJAN memang turun sore itu, awalnya hujan gerimis apung-apung, lama kelamaan jadi gerimis menderas diiringi angin kencang.
Itu sangat mengganggu Riko yang menggendong Nika menyusuri tanah pantai yang lembab. Ada jalan berbatu dan jalanan penuh rumput selutut. Tapi lebih menyulitkan manakala harus menapaki jalan mendaki berkelok berbentuk huruf Z. Agak licin karena disirami gerimis. Sebelumnya juga jalanan mendaki berkelok itu sudah agak becek karena hujan semalam.
"Sudahlah Bang Riko,aku turun aja di sini. Tak apa aku masih kuat berjalan kok," Nika mendesah di punggung Riko. Tapi Riko tak mau menurunkan Nika. Ia merasa tak terbeban menggendong gadis itu. Riko merasa kuat sekali. sedikitpun tak merasa kepayahan dibebani tubuh sintal itu di punggungnya. Riko merasakan sentuhan sentuhan sepasang daging kenyal itu sesekali tertekan di punggungnya. Sentuhan daging kenyal itu, yang sudah dihapalnya dalam hati. Riko tak merasa risih dengan tonjolan daging empuk yang sedang mekar itu. Karena beberapa kali pernah dekat di sana, di pebukitan indah itu.
"Tak apa Nika, aku tak merasa terbeban kok, malah aku senang," kata Riko saat menapaki jalanan mendaki berkelok itu. Dua orang penggembala kerbau hanya terpana memandang adegan romantis yang hanya pernah dilihatnya di layar televisi. "Anak muda jaman sekarang," gumam orang tua bertopi lusuh itu mengerjap-erjapkan mata.
"Kok abang bilang senang gendong Nika seperti ini," kata Nika.
"Ya senang, Nika tak capek jalan." sahut Riko .
"Hanya karena itu?"
Riko tertawa. "Karena yang kugendong gadis cantik..."
"Lalu...apa lagi,hayo..." canda Nika mengikuti twa Riko.
"Mmmm apa lagi ya..."
"Abang pikirin yang macam-macam ya, uff Riko genit." Nika menonjok punggung Riko.