Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Seindah Pelangi Senja (87)

25 April 2015   10:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Seindah Pelangi Senja (87)

Cuaca Jakarta terasa panas beringsang. Nika merasakan kegerahan yang sangat, meski ruang rawat itu full ac. Ia ingin pulang ke rumah sebentar mandi dan ganti pakaian. Tapi, apa papa ditinggalkan sendirian? Papa bisa sedih,apalagi mamanya tak ada di sana.

Aleksan mengamati anaknya. Seperti menyelami apa yang dirasakan anaknya.

“Kamu gerah ya Nika.”

Nikamenggeleng,tapi kemudian menjawab,” Ya, pa, tapi gak apa ntar lagi bisa sejuk lagi.”

Aleksan tersenyum.”Sebaiknya kamu pulang dulu mandi sekalian ganti pakaian. Papa sudah lebih sehat kok.”

“Ya pa? Yang benar Pa. Nika boleh ke rumah sebentar?”

“Ya, tapi beritahu suster perawat jaga.” kata Aleksan mengiyakan.

“Baiklah Pa, Nika sebentar juga sudah balik kemari.” Nika mengambil tas sandangnya, menemui suster jaga. “Zus tolong perhatikan papa saya ya, aku mau ke rumah sebentar.”

Lalu Nika balik lagi permisi pada papanya.” Pa, Nika nyetir pakai Pajero papa aja yah.”

Aleksan menunjuk kunci mobil di meja.” Hati-hati ya, dan jangan lupa terus hubungi temanmu Riko.”

Nika merasakan kebahagiaan tersendiri mendengarnya. Betapa baiknya papaku ini, beda bangat dengan mama yang judesnya minta ampun. Nika menutupkan daun pintu dari luar, menuju kamar lift untuk turun ke bawah.

Dalam beberapa menit Pajero hitam itu sudah memasuki tikungan ke dua menuju rumah dekat kompleks perumahan elit itu. Tapi dalam jarak sekitar 50 meter, Nika was-was melambatkan laju mobil, setelah melihat sebuah Land Cruiser warna kuning baru saja bergerak keluar melewati gerbang utama rumahnya. Nika menahan nafas. Tak salah lagi, Nika ingat itu mobilnya Rudy yang katanya kolega bisnis mamanya. Ada apa sore-sore begini Rudy ke rumah.

Setelah Land Cruiser menghilang di tikungan, Nika baru mengarahkan mobil memasuki halaman. Gerbang belum ditutup Saimun, lelaki pembantu urusan tamu itu. Saimun baru saja datang tergopoh mau menutup pintu gerbang, tapi ia mengangakan pintu lebar-lebar mengenali Pajero yang mau masuk.

“Oh non Nika rupanya. Kami kangen liat nona,” sapa Saimun membungkukkan badan setelah Nika keluar dari mobil. Ia tertawa melihat lelaki lugu dan polos itu. Saimun sudah lebih sepuluh tahun bekerja untuk keluarga Aleksan.

“Sehat Mang Saimun?” tukas Nika dengan ceria.

“Sehat non, sehat.” Saimun membungkuk-bungkuk lagi seperti orang Jepang.

“Yang tadi mobilnya Rudy yah,” tanya Nika.

Rudy sempat bingung. Tadi nyonya bilang padanya dan bibi pembantu agar jangan beritahu kalau Rudy dari rumah itu. Tapi bagaimana ini. Nika tadi sudah melihat mobil itu barusan keluar. Tak mungkin dibohongi. Saimun lalu mengangguk.”Ya non tadi Mas Rudy datang, dan barusan keluar.”

Nika mengangguk, seraya melangkah ke pintu depan.” Ya, saya melihatnya.”

Dalam hati Nika menyadari sebuah fakta yang teramat kejam. Sinyalemen papanya tentang mama dan Rudy makin nyata di depan mata. Dulu Nika percaya kedekatan mamanya dengan Rudy sebatas rekan bisnis. Tapi setelah papanya sakit-sakitan, Nika malu mana kala satu ketika melihat papa dan mamanya memasuki salah satu lokasi karaoke elit di Glodok. Bahkan lebih runyam, ketika matanya menyaksikan mama pernah soen dengan Rudy saat Rudy pamitan datang ke rumah bilang mau ke Singapura. Itu di mata Nika bukan cipika cipiki biasa. Ada muatan mesra dari cara pandang dan senyum di bibir keduanya. Nika geram. Tapi ia memilih bungkam, menyadari papanya dalam kondisi mengkhawatirkan. Nika tak menyadari kalau papanya ternyata juga sudah mengetahui lebih dari yang diketahuinya.

Vera baru saja mau menutup kamarnya saat melihat Nika muncul dan sedang melangkah menuju kamarnya dekat balkon. Vera masih menyimpan gemas di hati. Tapi ia menarik nafas lega. Untung Nika tak muncul saat Rudy masih ada. Bagaimana kalau Nika tahu ia dan Rudy tadi sedang bergelut di salah satu kamar ini. Hampir saja...bisik Vera, membatalkan niatnya menjumpai Nika. Ada ide baru dalam benaknya. Mudah-mudahan Nika tak mengunci kamarnya dari dalam. Vera tahu anaknya mau mandi dan ganti pakaian.

Beberapa menit kemudian Vera mendengar gemerisik percikan air dari kamar Nika. Ia berjingkat mendekati pintu kamar Nika, yang ternyata tak tertutup rapat. Lalu Vera perlahan membuka pintu, masuk ke dalam. Ia melihat tas sandang Nika tergeletak di ranjang.Diambilnya tas itu lalu mengeluarkan ponsel Samsung, memeriksa dengan cepat urutan nama-nama kontak. Tak ada nama Riko. Satu lagi ponsel Black Berry terbaru diperiksanya, mengamati urutan nama dari huruf “R”. Ya di ponsel itu ada nama Riko. Ponsel itu diambilnya, lalu keluar dari kamar, menutupkan daun pintu dengan posisi semula. Beberapa menit berikutnya Vera sudah meluncur meninggalkan rumah mengenderai Camira hitam legam itu membawa ponsel Nika yang barusan diambilnya. Kepada Saimun ia berpesan,” Ntar kalau Nika tanya, bilang saya tidak tahu dia ada di rumah.” Saimun hanya mengangguk sambil terbungkuk-bungkuk.

Nika sudah berkemas mengganti pakaian. Dalam beberapa menit berikutnya ia juga sudah berada dalam Pajero menuju rumah sakit. Lalu ia teringat pesan papanya tadi, jangan lupa menghubungi Riko. Ia merogo tas sandang Guccinya mau mengambil BB. Astaga, Nika kaget ponseltempat nomor Riko tersimpan, tak ada. Nika penasaran. Diputarnya mobil balik ke rumah, siapa tahu ponsel itu ketinggalan tadi di kamarnya. Saimun keheranan ketika membuka pintu gerbang melihat siapa yang datang.” Eeh Non Nika lagi...”

Nika tak menyahuti, ia buru-buru setengah berlari menapaki tangga melingkar menuju lantai atas. Buru-buru diperiksanya ranjang, meja, kursi, bahkan ke kamar mandi. Nihil! Nika kebingungan. Seingatnya ia tak menyimpan nomor Riko di ponsel Samsung. Ini suatu kesalahan fatal. Tapi, bagaimana BB nya bisa tak ada dalam tas sandang. Seingatnya tadi di rumah sakit ia memasukkannya ke dalam tas, kenapa bisa tak ada ya. Nika punya harapan ponselnya ketinggalan di rumah sakit. Mungkin ia salah ingat.

Aleksan memandangnya dengan senyum lebar saat Nika muncul di pintu kamar inap. Tapi Aleksan mudah saja menangkap kelainan di wajah anaknya.

“Cepat sekali kembali Nik,” sapa Aleksan. “Anak papa ini memang cantik buangat,” katanya lagi melihat penampilan Nika dengan setelan jins warna luntur dan kaos hitam liris-liris merah. Nika tampak begitu cantik di matanya. Aleksan selalu membanggakannya.

“Nika cuman mandi sebentar dan ganti pakaian Pa...tapi...” Nika tak melanjutkan. Ia melihat ke sekitar ruangan, mencari ponsel. Tapi ponsel BB itu tak ada juga.

“Tapi apa tadi Nik,” tanya Aleksan mengamati sikap gelisah Nika yang seakan kehilangan sesuatu yang penting.

“Ponselku tak ada Pa,” kata Nika sambil terus mencari-cari di sekitar ruangan.

“Lho, kok bisa tak ada.”

“Ya Pa, Nika juga bingung, tadi masih kupakai tapi bisa tak ada dalam tasku.”

Aleksan mengerutkan kening.” Ingat-ingat dulu apa ketinggalan di rumah tadi.”

Nika menggeleng.” Tidak Pa, aku ingat betul tadi mau meninggalkan kamar ini masih kumasukkan ke dalam tas. Aku mau hubungi Riko tadi seperti papa ingatkan, tapi gimana ya, wah berabe nih pa, nomornya hanya kusimpan di situ.”

“Kamu punya ponsel berapa, coba periksa.”

“Tadinya ada tiga pa, dua BB dan ini Samsung. Tapi BB yang papa belikan dari Korea dulu sudah rusak, tinggal dua lagi.”

Aleksan kembali mengerutkan kening.

“Tadi mamamu ada di rumah?” tanya Aleksan bernada serius.

“Ada pa, tapi Nika tak sempat jumpa, mungkin lagi tidur.” Tadinya Nika hampir keceplosan mengatakan Rudy juga dari rumah. Tapi untung lidahnya segera di rem.

Aleksan menyipitkan mata.” Tak usah kamu bingung dan cari-cari itu ponselmu. Papa tahu mamamu yang ambil itu.”

Nika terperangah.” Mama? Tapi, kenapa pa, kok mama yang ambil.”

Aleksan menunjukkan wajah murung.” Ya, dia pasti punya rencana tertentu. Kenapa susah menduganya Nik. Mamamu tak ingin kamu terus berhubungan telepon dengan Rudy. Dan yang kedua, mamamu mau hubungi Riko dan mengingatkannya agar jangan coba-coba berhubungan apapun denganmu lagi. Itu rencana mamamu. Papa yakin itu.”

Nika tertegun menyadari kemungkinan itu. Tadi memang ia tak melihat Vera saat tiba di rumah. Mungkin mamanya lagi tidur siang, setelah....dengan Rudy? Ah, Nika takut meneruskan rekaannya yang membuatnya menggigil. Tapi, bagaimana caranya tadi mama mengambil ponsel?

Nika terhenyak di kursi ketika teringat tadi ia memang tak mengunci pintu kamarnya sewaktu mandi. Ya, bisa saja tadi mama menyusup diam-diam ke kamarnya, lalu mengambil ponsel BB nya.

Nika tertunduk lesu. “bagaimana ini pa, aku tak akan bisa hubungi Riko lagi.”

Aleksan berpikir sejurus. “Jangan galau dulu Nika, kalau memang ponselmu benar-benar sudah hilang, masih ada jalan terbaik yang papa pikirkan buatmu.”

“Apa itu pa, bagaimana caranya pa...”

“Kamu temui dia langsung ke Sumatera.” Aleksan berkata dengan mimik sedikit menegang.

Nika terlonjak.” Benar itu Pah? Benar kan Pa?”

“Ya, kamu aja langsung jemput dia dan bawa ke papa.” Tegas Aleksan.

Nika berubah ceria kembali.” Makasih ya pa, papa terbaik sedunia.” Ingin Nika melonjak kegirangan, tapi ia menahan diri.

Vera juga saat itu bersenang hati ketika bertemu Rudy di Panama Cafe. “Tau Rud, tadi kuambil ponselnya Nika saat dia mandi.”

Rudy awalnya tak acuh. Rencana besarnya menguasai nyonya muda yang masih cantik itu terus berkelebat di benaknya. “Ponsel? Buat apa tante ambil ponselnya segala,” tukas Rudy sambil memperhatikan leontin ungu itu bermain manja di belahan dada Vera yang putih mulus. Libido dalam dirinya menggelegak setiap melihat leontin indah itu menari-nari di belahan payudara itu.

“Nomornya Rud, nomornya teman Nika ada di sini,” Vera menunjukkan ponsel BB itu. Rudy tertawa lepas.”Tante memang orang bijak sedunia. Berarti anakmu tak bisa konek dengan pacarnya lagi, gitu?”

Vera menempelkan tangannya ke tangan Rudy di atas meja.” Mmmhh, Rudy tadi terus pergi tinggakan tante, serba gantung...mmmfff.” Senyum nakal bermain di bibir Vera.

Terkadang Rudy jenuh juga setiap tante itu merengek minta layanan plus. “ Tak anaknya biarlah ibunya yang bahenol juga sama. Yang penting aku kuasai perusahaannya,” bisik Rudy dalam hati.

Rudy mengelus jemari yang dilingkari tiga permata berlian Mesir itu. “Aku juga selalu kangen da kepingin tante, tak pernah ada bosannya.”

“ Mmf tapi untung Rudy cepatan perginya tadi, kalau tidak bisa kepergok Nika kita di kamar.” Kata Vera balas mengelus jari pengusaha muda itu. Sepuluh jari di meja itu saling bergelut saling raba dan colek. Vera menahan nafas. Tapi di kafe banyak orang yang memerhatikan mereka.

“Jadi rencana tante bagaimana,” tanya Rudy.

“Ya itu Rud, kuputuskan dulu hubungan pemuda cecunguk itu dengan anakkku, baru pelan-pelan kubujuk Nika agar menyenangi kamu.” Jari Vera terus menggeluti jari Rudy di meja porselen itu.

Rudy tersenyum, tapi senyumnya sedikit dipaksakan.” Jangan terlalu dipaksakan tante, mana bisa rasa senang itu dibujuk-bujuk.”

Vera merasa kurang senang jawaban itu.” Kamu sepertinya tak semangat dengan rencana perjodohanmu dengan anakku, apa Rydy berbalik pikiran.”

“Bukan berbalik pikiran tante, tapi aku pesimis. Kurasa Nika jijik melihaku karena sudah tau skandal kita.”

Vera terperangah menatap Rudy.

“Lantas pikiranmu bagaimana Rudy.”

“Aku lebih suka sama mamanya...” tatap nakal Rudy ke mata nyonya itu.

“Bajingan kamu Rud, sudah dikasi anak perawan mau yang mama-mama, dasar gigolo kamu ya.”

“Tante sih cantik bahenol dan masih membakar,” tukas Rudy tertawa.

Vera meremas jari Rudy dengan kuat.” Tante juga suka kamu Rud, muda, tampan, kaya, dan hebat bikin tante sampai terkulai di ranjang...tante sih mau aja jadi isteri orang muda, tapi itu mengundang petaka buatku Rudy, tante bisa disingkirkan suamiku.”

“Suami tante kan sudah di ujung tanduk,” Rudy mendesis menatap bola mata Vera.

“ Tante tak tega mengharapkannya cepat pergi Rud, banyak aset masih atas nama dia dan Nika. Kita harus sabar Rudy, belajar lebih sabar.”

“Ya Rudy sih sabar aja, tapi tante jangan terlalu paksakan Nika mau ke saya, ya kalau tak mau biarin aja tante, Rudy sekarang lebih condong ke mamanya...”

Vera ngakak, membuat orang-orang di ruangan kafe serempak berpaling. Rudy melintangkan jari telunjuknya di bibir berlipstik oranye itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun