Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Riwayat Sungai dan Tali Air yang "Mati Suri" di Kampungku

20 Juni 2014   01:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:04 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_343686" align="alignnone" width="448" caption="Seorang penambang pasir sedang menggali menambah pendapatan di Sungai Sigeaon. Yang manual tak dilarang. (Dok.pribadi)"][/caption]

[caption id="attachment_343688" align="alignnone" width="448" caption="Tali air Panaharan ini bertahun-tahun mati suri. Biaya sudah miliaran dikucurkan merenovasi.(Dok.pribadi)"]

14031769111690255030
14031769111690255030
[/caption]

Tidak banyak kota yang dibelah sebuah sungai. Salah satunya adalah kota Tarutung, ibukota kabupaten Tapanuli Utara,Sumatera Utara. Kota kecil yang dijuluki kota wisata rohani ini, terbelah dua dilintasi Aek (sungai) Sigeaon. Pusat perkotaan terletak di sebelah Barat, dan kawasan pengembangan terletak di bagian Timur. Dua buah jembatan yang masing-masing panjangnya sekitar 25 meter menjadi penghubung kota ini dari kedua sisi.

Sejak kapan sungai yang panjangnya sekitar 10 kilometer ini hadir membelah kota Tarutung, tak lagi jelas diketahui. Tapi diperkirakan usianya lebih tua dari keberadaan kota itu. Ompu Barita br Tambunan (alm), nenek penulis, pernah bercerita,dulunya Tarutung itu terdiri dari hutan rawa, tapi sungai itu sudah ada.” Kakek saya dulu sering berjalan kaki puluhan kilo dari Sigotom Pangaribuan ke Tarutung berdagang kemenyan. Waktu itu di Tarutung jumlah rumah masih bisa dihitung dengan jari, tapi sungai itu sudah ada, bahkan lebih lebar dari yang sekarang”, tuturnya satu ketika.

Setelah Tarutung terbentuk dari perkampungan kecil menjadi sebuah kota, Aek Sigeaon tetap setia mengalir membelah kota. Dua buah jembatan lama buatan Belanda sudah dibongkar, diganti jembatan baru pada tahun 70-an. Setiap hari jembatan keluar masuk kota Tarutung itu setia memikul berat dilintasi aneka kenderaan berat dan ringan.

Air sungai bersumber dari mata-mata air pegunungan di kawasan Humbang, kemudian mengalir di celah sempit sekitar Narahar Kecamatan Sipoholon, meliuk melintasi Pasar Sirongit, Pardangguran, terus ke Saitnihuta, lalu Batu Hoda untuk selanjutnya bermuara ke Laut Sibolga.

Menceritakan keindahan Rura Silindung tidaklah lengkap tanpa Aek Sigeaon yang airnya kekuningan. Aek Sigeaon memberi nuansa tersendiri, tatkala lembah ini dipotret dari berbagai sisi. Pada malam hari, banyak orang terutama kawula muda duduk bercengkerama di tanggul sungai sambil menikmati bunyi gemerisik air mengarus deras ke arah Selatan. Kata beberapa warga yang sudah berkeluarga, sungai itu menjadi saksi bisuketika mereka memadu janji di pinggir sungai sebelum akhirnya married.

Tapi Aek Sigeaon sendiri sesungguhnya bukanlah sungai yang jinak. Pada musim hujan antara September-Desember terutama bila curah hujan berkepanjangan di wilayah Humbang, sungai ini sering berubah menjadi ganas, menawarkan ancaman musibah banjir. Tak jelas sudah berapa kali sungai yang kelihatan tenang ini menimbulkan bencana. Menurut cerita, pada 1950 dan 1960-an, air sungai mengamuk membobolkan tanggul di bagian perkotaan. Ratusan hektar sawah rata diterjang banjir. Demikian pula tanggul di kawasan Sipoholon jebol pada 1981 sepanjang hampir seratus meter. Ribuan warga bersama anggota TNI turun tangan mengatasi situasi. Pada 2006 lalu, sungai ini kembali mengamuk. Tapi yang jebol bukan lagi tanggul arah Barat, melainkan tanggul arah Timur di kawasan Desa Siwaluompu. Untung Pemkab Taput sigap bertindak mencegah akibat yang lebih fatal.

Pada 1977-1978, tanggul sungai dari arah kota hingga Pasar Sirongit Sipoholon sudah diperkokoh dengan tembok beton. Tapi karena pembuatannya sembarangan, tembok itu masih sering bocor menimbulkan bahaya. Belakangan, tanggul bagian dalam sudah diperkuat lagi dengan membuat beronjong dan tembok. “Air tenang sering menghanyutkan”, kata Lundu Panjaitan, semasa menjabat Bupati Taput. Pemerintah pun mengeluarkan larangan, agar tanggul jangan dicangkuli warga untuk membuat perladangan, karena hal itu membuat tanggul rawan jebol.

Di balik bencana yang kadang ditimbulkan sungai ini, harus diakui banyak juga hikmahnya. Aek Sigeaon memberi kontribusi tersendiri dalam banyak hal. Misalnya, bagi penggemar menjala atau memancing ikan, silahkan mencari ikan di sungai ini. Di sungai yang kedalamannya rata-rata satu meter itu, tersedia ikan mas, atau jenis ihan Batak, dan ikan mujair. Bagi mereka yang suka tantangan boleh mencari nafkah dengan menggali pasir di sungai. Selama puluhan tahun sungai ini telah memberi kontribusi melalui pasir murni yang tak hentinya terbawa dari hulu. Pasir Aek Sigeaon tergolong pasir berkualitas, dan kini dimanfaatkan banyak orang untuk keperluan membangun, apakah itu membangun rumah pribadi, atau proyek-proyek pemerintah. Tak diketahui lagi entah sudah berapa juta ton pasir sudah diambil dari sungai ini. Di Desa Saitnihuta dan Sipoholon, hingga sekarang banyak warga bekerja sebagai penambang pasir, baik secara pribadi maupun dieksploitasi para pengusaha bahan bangunan.

Bukan cuma itu. Aek Sigeaon juga kadang menjadi arena hiburan umum. Pada perayaan 17 Agustus misalnya, tak jarang sungai ini dijadikan sebagai prasarana kegiatan lomba rakit atau lomba tarik tambang. Pada perayaan Agustusan tahun lalu, Pemkab Taput malah menyelenggarakan lomba tangkap ikan mas di sungai ini.

Dari sudut pariwisata, banyak pemerhati terobsesi untuk mengeksploitasi Aek Sigeaon menjadi nilai plus keindahan kota Tarutung. Ada yang menggagas, sepanjang tanggul mulai dari arah Pasar Sirongit Sipoholon dibangun menjadi lokasi cafe-cafe tenda yang dikelola warga. Selain menghidupkan suasana, sekaligus untuk perkuatan tanggul, dimana pengelola usaha sepanjang tanggul diwajibkan membuat tembok penahan yang kokoh di pinggiran sungai. Ada juga yang menggagas pembuatan jembatan lebarantara jalan Ferdinand Lumbantobing dengan jalan Diponegoro. Di sana dibuka semacam pusat jajanan malam hari, tempat keluarga rekreasi. Dan banyak gagasan lainnya yang bertujuan memanfaatkan keberadaan sungai ini. Tapi sejauh ini, itu hanya ide. Lalu, siapa yang bakal memulai?

Tapi, di balik sejarahnya yang panjang, kini Aek Sigeaon mulai dianggap bermasalah. Sebab permukaan air sudah turun dari ukuran normalnya. Pada musim kemarau, air sungai tak lagi mampu mengairi persawahan melalui saluran primer (bubusan) di beberapa tempat.. Itu diakui Kadis PUK Taput Ir Anggiat Rajagukguk beberapa waktu lalu.” Permukaan air sungai memang sudah turun sekitar 80 senti, sehingga air sulit masuk ke saluran irigasi,” dalihnya, seraya menunjuk tak berfungsinya tali air Panaharan dan Panganan Lombu akibat faktor tersebut. Sehingga solusinya, dianggarkan dana khusus untuk membangun dam pengendali menggunakan besi khusus shite fil. Namun Anggiat juga tak menepis anggapanmenurunnya air sungai itu akibat pengambilan pasir secara besar-besaran di hulu maupun hilir Aek Sigeaon. Petani pun harus rajin berdoa agar hujan sering turun mengairi tanaman padi dan palawija yang banyak dihasilkan daerah ini.

Ternyata seberapa besar pun anggaran dihabiskan untuk rehabilitasi Bondar Panaharan, tak membawa hasil signifikan. Sementara pemborongyang terkait dengan proyek, sudah menikmati keuntungan besar setiap tali air ini diproyekkan. Hasilnya nol besar.

Apapun masalahnya, yang penting Aek Sigeaon hendaknya mendapat perhatian semua pihak. Baik pemerintah mau pun masyarakat yang mendapatkan kontribusi air dari sungai itu. Aek Sigeaon adalah aset bersejarah sekali gus berharga bagi wilayah ini, baik dari sisi pertanian, mau pun keindahan alamnya yang khas.

Dulunya, banyak warga di Desa Hutabarat yang mengandalkan air dari sungai ini untuk usaha perikanan ikan mas dan mujair. Hasilnya lumayan menambah pendapatan selain pertanian padi dan sayuran. Tapi setelah tali air itu ”mati suri” sudah hampir sepuluh tahun, para peternak ikan terpaksa gigit jari. Tak ada lagi yang diharapkan dari sungai itu. Jangankan untuk keperluan kolam ikan, sedang untuk mengairi sawah pun tak bisa diandalkan lagi.

Setelah pergantian pimpinan daerah dari Toluto ke Nikson Nababan, digagas solusi temporernya dengan menyedot air pakai mesin. Tapi setelah uji coba beberapa hari, hasilnya tak signifikan. Solusi itu belum bisa diharapkan menjadi jalan keluar terbaik, namun untuk solusi sementara bolehlah dicoba. Pengambilan pasir pakai mesin di hulu, tetap berlangsung meski beberapa waktu lalu sudah dilarang pemerintah bahkan peralatannya disita Satpol PP. Seakan peran sungai ini selama ratusan tahun sudah berakhir secara alami. Banyak teori insinyur pengairan, tapi tak efektif mencarikan jalan bagaimana agar air sungai bisa masuk lagi ke saluran tali air.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun