Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pilkada Langsung Tak Langsung, Ya Lebih Enak Dong Langsung!

17 September 2014   04:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:28 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RUU Pilkada tampaknya sudah berhasil mengalihkan perhatian banyak penduduk di republik yang gemar gonjang-ganjing ini. Dua kubu sudah jelas berseberangan. Pro pemilihan dikembalikan ke DPRD, dan yang pro pilkada tetap langsung oleh rakyat. Tulisan ini tak merinci lagi bagaimana serunya argumen kedua kubu. Saya hanya ingin meneropong langsung soal mana baiknya yang langsung dengan yang tak langsung.
Yang pasti, ketika wacana ini mulai bergulir, maka yang hatinya paling berbunga-bunga adalah mereka anggota DPRD produk pemilihan legislatif 2009. Kenapa. Karena apapun ceritanya, bayang-bayang kekuasaan mendudukkan kepala daerah, gubernur,bupati,wali kota, sudah di depan mata. Porsi wewenang itu terasa menggiurkan. Calon kepala daerah (kelak kalau alternatif ke DPRD jadi diundangkan), tak boleh lagi memandang enteng sama dewan. Paling tidak para calonn, harus punya talenta mengambil hati dengan penampilan lebih simpatik, lebih ramah, lebih komunikatif, dan banyak "lebih-lebih" lainnya. Namanya harus pintar cari muka, bila perlu juga harus lebih ramah merogo kocek untuk hal-hal yang dapat menimbulkan kesan simpatik. Ini tentunya terutama berlaku bagi mereka yang pernah mengalami enaknya posisi dewan di masa lalu ketika DPRD yang "berkuasa" menentukan calon menang atau kalah. Tapi bagi anggota dewan yang produk pasca reformasi, mungkin hatinya berbunga-bunga membayangkan kisah-kisah masa silam yang konon sangat "wah". Tak bisa dibuktikan memang menurut parameter otentisitas, apakah benar dulunya seorang anggota DPRD dibuat silau oleh calon kepala daerah yang akan menang dengan misalnya kunci mobil baru dan bergepok-gepok uang. Itu dianggap banyak orang isu yang dekat dengan realita, dan sudah jadi rahasia umum. Sementara dugaan lain, dulunya dalam pemilihan kepala daerah, para anggota dewan sudah dapat pengarahan dari atas. Mungkin dari petinggi partai atau pejabat yang lebih tinggi. Gubermur untuk bupati atau walikota, Mendagri atau Presiden untuk level gubernur. Ketika seorang bupati sudah dapat lampu hijau dari atas, maka tak pelak lagi dialah yang dipastikan bakal menang dipilih dewan. Sedang dua atau tiga calon lain seolah-olah hanya sekadar pendamping, seperti halnya dulu sistem tender proyek.

Rekan yang juga pintar mengamati berbagai hal, tertawa ketika saya tanya apakah di masa lalu itu masih ada nilai-nilai demokrasi? " Ya, dulu yang seperti itulah namanya demokrasi. Yang aklamasi  juga demokrasi, tapi demokrasi yang bagaimana, tanyakan rumput yang bergoyang."

Keberatan banyak warga jika pilkada kembali ke sistem pemilihan di DPRD, karena belum tentu anggota dewan yang duduk sekarang sudah mewakili semua pemilih. "Tak ada dari dewan di daerah kami yang kupilih itu, karena calon yang saya jagokan kalah.Jadi kalau nanti DPRD memilih gubernur atau bupati, lalu itu atas nama rakyat, sedangkan saya tak ikut memilih mereka dulu, apakah itu bisa dibenarkan atas nama rakyat?" begitu pendapat seorang warga saat berbincang di sebuah warung di Jalan Garuda Perumnas Mandala Medan.Rupanya RUU pilkada juga sudah dibahas banyak orang dimana-mana.

Lalu,ditanya apakah dia setuju pilkada dikembalikan ke DPRD atau pilkada langsung dipilih rakyat?
Dia menjawab tanpa ragu, yang namanya langsung selalu lebih enak dibanding yang tak langsung. Dengan gaya gurau ia contohkan, siaran tv ketika menayangkan acara pertandingan sepakbola atau pentas hiburan semacam Indonesia Idol. "Siapa  yang tak menyukai siaran langsung dari pada siaran tunda?" Begitu dituliskan di sudut atas monitor "live", enaknya menyaksikan beda jauh dibanding jika itu siaran tunda atau ulangan.

Direct dengan indirect. itu kira-kira dalam kamus Inggeris. Artinya dimaknai sebagai keterlibatan seseorang dalam sebuah even penring. Saat sebuah film ditonton langsung beda jauh dengan ketika tontonan diceritakan orang lain kepada yang tak ikut menonton langsung.

Terlepas dari pendapat Guruh Soekarnoputra yang menyebut pemilihan langsung mengingkari Pancasila, tampaknya itu diabaikan banyak tokoh dan masyarakat luas pro demokrasi. Opini yang berkembang deras saat ini seperti terlihat pada aksi-aksi protes dan orasi-orasi ahli hukum, cenderung pada penolakan sistem pilkada a la orde baru. Rakyat kebanyakan tetap beranggapan pilkada oleh DPRD sebagai politik merusak demokrasi murni yang sedang berkembang. Sementara mempertahankan pemilihan langsung, ya enaknya bagi rakyat ikut terlibat langsung menentukan pemimpin daerah yang sesuai dengan aspirasinya.

Beda pendapat dalam demokrasi sah-sah saja, kata para politisi. Nah, jika yang dominan adalah dukungan terhadap sistem yang berlaku saat ini (langsung) kenapa bukan itu saja dulu yang dibenarkan. Soal argumen yang menyebut pemilihan langsung itu pemborosan, hanya soal teknis pelaksanaan. Hidup kebanyakan pejabat bermewah-mewah tak dipersoalkan secara serius. Kenapa anggaran untuk menetapkan pemimpin pemerintahan tiba-tiba jadi pusat pembahasan? Solusinya bisa digampangkan, jika mau. Kurangi atau ciutkan saja anggaran lain yang kurang urgen dan dialihkan untuk keperluan pilkada di daerah tertentu. Sudah berulangkali pilkada langsung dilaksanakan di negeri ini sejak reformasi, toh negara ini tidak bangkrut. Negara lebih berpotensi bangkrut jika para pejabat negara atau orang-orang yang duduk di legislatif terdiri dari orang-orang bermental korup. Begitulah inti perbincangan yang saya tangkap dan kemudian dituangkan dalam catatan singkat ini.

Toh pada akhirnya itu adalah pendapat. Pengambil keputusan (decision maker) juga yang menjadi penilai paling final, menimbang mana baik dan buruknya.  Tapi dengan pertimbangan yang didasari wisdom, bukan konspirasi politik semata.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun