Perang mulut antara suami dengan isteri, hal lumrah. Ada piring terbang bernama UFO, itu luar biasa. Tapi piring dan gelas beterbangan ketika suami isteri berantam, itu biasa. Lalu, bagaimana saat seorang kurir caleg perang mulut dengan warga pemilih, gara-gara si warga pemilih dituding mata duitan dan pembelot? Itu juga bisa dikategorikan biasa, asal saja jangan sampai perang mulut itu merambat jadi perang tangan dan kaki. Bisa-bisa ada yang ditandu ke rumah sakit.
Menjaga agar insiden itu tak perlu terdokumentasi sehingga seluruh dunia jadi tahu, apa lagi kompasiana itu tercover di lima benua, baiknya sebagian materi perang mulut itu saja yang saya tayangkan di bawah ini. ( catatan: K= Kurir, P= Pemilih)
Kamis (10 April 2014) siang, sehari setelah penghitungan suara. Lokasi Desa H Kec Tarutung, Provinsi Sumatera Utara. Maka K dengan muka merah delima karena terik matahari sedang raun-raun keliling desa ke desa mencari P. Tujuannya minta pertanggungjawaban dari P yang telah menerima duit Rp 7 juta dari K untuk keperluan dibagikan kepada 70 warga pemilih dengan perincian Rp 100 ribu per kepala, supaya mencoblos caleg X dari partai X pada hari pemilihan Rabu (9 April).
Di depan sebuah kedai tak jauh dari bangunan gereja di desa H, K bertemu juga dengan P. Waktu itu P sedang menggembala dua ekor anak anjing di pinggir jalan agar tak kena tabrak kenderaan. Melihat kedatangan K, awalnya P bersikap tenang melempar senyum. Sekilas dilihatnya di balik kaos K pada arah punggung ada suatu tonjolan, P agak kecut. Mungkin dipikirnya tonjolan di balik kaos itu sebilah pisau atau pedang pendek, pada hal hanya koran berlipat yang diselipkan di pinggang. Kalau wajah K merah delima atau merah manggis (tak tau persis mana paling pas), maka wajah P kelihatan memutih. Ini diilustrasikan K pada saya (penulis) usai kejadian.
K : Kemana saja kamu sembunyi pasti kutemukan, ke balik gunung sana pun pasti kukejar
P : Ah bapak ini ada-ada saja, memangnya kenapa saya dikejar-kejar, seperti saya ini DPO polisi saja
K : Memang kamu DPO saya, bukan DPO polisi
P : Tenang dulu bapak, ada apa sebenarnya, ayo kita bicara di kedai sana sambil ngopi dulu ( wajahnya dibuat setenang mungkin, walau rasa takut atau cemas sulit disembunyikan)
K : Tak perlu basa-basi, tak perlu ngopi segala, sekarang saya mau duit itu semua dikembalikan ke saya
P : (mimik heran) Uang yang mana pak, aku tak paham itu
K : Uang mana uang mana jangan berlagak bodoh main sandiwara kamu
(Nada menggertak menggeretakkan gigi)
P : Sungguh dan jujur aku tak ngerti yang bapak bicarakan ini
K : Itu uang yang kamu terima untuk tujuh puluh suara yang kamu data, tapi nyatanya cuma empat suara yang ada, ayoh itu dikembalikan semua
P : (mulai gemetar) Â Tapi... tapi mana pernah aku ada terima uang dari bapak, tak ada itu pak, yang kuterima hanya dari si Janro itu
K : (mendelikkan mata) Itu sama saja, Janro itu perpanjangan tanganku saa di sini, itu uang dari saya, tau?
P : Tapi pak, mana si Janro, biar kami yang ngomong langsung, kan uang itu sudah kubagi-bagi warga sesuai daftar
K : Tak perlu sama dia, dia sudah dipecat dari tim karena berengsek, tak becus kerjanya
P : Tapi pak, aku berurusan sama dia bukan dengan bapak
K : Jangan banyak cincong kau ya, dia itu masih anak buah, aku atasannya di tim pak ibu caleg, jadi sekarang karena dia sudah dipecat akulah yang datang menagih karena kamu menipu, tak benar uang itu kamu bagikan, buktinya hanya empat suara... hanya empat suara dan itu namanya kamu curang, kamu pikir apa kami ini hah? ( tangan kanannya bergerak ke arah tonjolan koran yang terselip di pinggang)
P : ( ketakutan merayap ke jantungnya, melihat ke arah tonjolan yang disangkanya benda tajam) ... Sesungguhnyalah pak, uang itu sudah kubagikan sesuai daftar, tapi rupanya mereka semua pengkhianat, karena menerima yang lebih banyak dari calon lain, sungguh aku berkata jujur..
K : Itu urusanmu, yang penting uang itu harus kembali sekarang juga...
( dua tiga orang warga desa mulai mendekat ingin tahu yang terjadi)
P : ( sambil garuk kepala yang tak ada kutunya) Tapi bagaimana mengembalikannya, sudah sempat kubagikan semua
K : Omong kosong kau, kalau betul kau bagi kenapa tak ada suara untuk caleg kami (mata makin memerah)
P : Ada pak, tapi cuma dapat empat suara, aku juga marah-marah merasa dikhianati
K : Kau pasti bohong, masak dari 70 orang yang kau bagi cuma ada empat, pasti tak semua kau bagi ( matanya didelikkan lagi mengancam)
P : Sungguh pak, aku jujur, semuanya sudah kubagikan, tapi ada caleg lain yang menindih kita, kabarnya sampai 200 ribu per orang, hajablah kita, semua berkhianat
K : ( tangannya bergeser lagi ke tonjolan di pinggang) Pokoknya saya tak percaya, ayoh dimana kau simpan uangnya
P : (makin takut melihat tonjolan dibalik kaos pria itu) Apa lagi mau kubilang agar bapak percaya, ini lihat pertinggal catatanku masih ada, semuanya 70 orang, boleh bapak cek
K : Saya tak peduli apapun alasanmu, pokoknya berapa lagi sisa belum kamu bagi serahkan sekarang juga, selesai persoalan
P : ( bingung) Apa mau kukasi bapak, semua sudah kubagikan, kalau tak percaya mari kita datangi nama-nama yang ada di kertas  ini
K ; (rona merah di wajahnya berkurang) buat apa kita jumpai orang itu, bikin malu kita nanti bisa ketahuan orang lain kita menyogok orang. Maksudku, kalau memang uang itu tak semua kamu bagikan, tak apa-apa tapi terus terang aja, biar persoalan ini tak sampai ke polisi
P : ( mimik terkejut, muka kembali memucat) Hah? Polisi? Janganlah pak, aku tak mau ke penjara karena uang itu, aku mau jujur sebenarnya...
K : ( mulai tersenyum) Nah begitu bagusnya, jadi sebenarnya uang itu masih ada sama kamu, lebih baik terus terang aja, biarlah ini antara kita berdua tak perlu ke caleg...
P : (terdiam sejurus, berpikir keras, lalu akhirnya mengangguk, setengah berbisik) Baiklah pak, sejujurnya uang itu tak sempat kubagikan semua, hanya untuk sepuluh orang, itu pun hanya empat orang milih yang enam lagi mengkhianat, karena...
K : Tak perlu lagi karena karena, jadi jelasnya dari 70 orang hanya 10 ) bagi, berarti masih ada enam juta lagi di tanganmu kan? Ambillah uang itu, tapi ini rahasia kita tak perlu orang lain tahu, mengerti?
P : (bingung lagi) Tapi pak, yang enam juta itu pun sudah berkurang satu juta pak beli beras, bayar listrik, dan belanja isteri ke pasar...
K : ( sedikit gusar) Dasar kamu memang plin-plan, oke tak apalah, berarti masih ada lima juta lagi, ambillah biar saya tahu bagaimana..
P : ( wajah pucat mulai lagi pudar) Jadi maksud bapak antara kita berdua aja, berarti uang itu kita bagi?
K : ( bikin wajah seram lagi) Sok tau kamu, sudah enak kamu tak kulapor ke polisi, pokoknya dari lima juta itu ambil sama kamu satu juta, titik...
P : ( wajah mesem) Tapi kalaupun ke polisi bukan hanya saya yang kena, bapk dan caleg juga ikut kena
K : (mata mendelik) Pintar-pintaran kamu ya? Kalau begitu apa betul kamu mau kubawa ke polisi?
P : ( pucat lagi) Tidak, tidak pak, biar selesai di sini saja, aku tak mau urusan jadi panjang bisa malu aku ke orang sekampung.. tunggulah pak aku ambil uangnya ke rumah, isteri juga tak tahu uang itu masih kusimpan...
Begitulah perang mulut antara kurir caleg dengan warga pemilih yang juga merangkap perpanjangan tangan caleg di desa. Soal bagaimana kemudian endingnya, bagaimana urusan kurir dengan caleg bersangkutan, hanya mereka yang tahu... ha ha ha ha, warga pemilih tadi tertawa usai mengkilas balik pengalaman konyolnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H