Posturnya kecil dan kurus, rambutnya sudah hampir memutih semua. Tapi bicaranya masih jelas, tapi pendengarannya sudah kurang.Begitulah kadangkala keistimewaan seorang manusia, meski usia nenek ini sudah menapak 82 tahun,namun dia masih tegar dam mampu mengolah ladangnyadi kawasan Hutagurgur,Kecamatan Sipahutar, Taput, Sumatera Utara.Yang hebatnya, ia berkebun sendirian tanpa teman.
“Saya ompu Binsar boru Tobing,asal saya dari Simanampang,dan suami saya marga Simanjuntak sudah lama meninggal,” katanya ketika berbincang dengan kompasianer di ladangnya pinggiran jalan Tarutung-Sipahutar,kawasan Desa Hutagurgur, Sumatera Utara, pekan lalu. Rombongan kompasianer dalam perjalanan pulang , setelah melayat seorang kerabat yang meninggal dunia. Ban kempes di jalan lengang tanpa pemukiman, sungguh membuat kami berempat uring-uringan. Apa lagi tak ada ban serep, makin membuat pusing. Salah seorang terpaksa harus rela membawa ban bocor ke kota yang jauhnya sekitar 16 kilometer lagi. Ban bocor itu ditumpangkan ke sebuah mobil yang lewat. Menunggu datangnya kawan itulah, saya ketemu nenek renta yang karena kurusnya kutaksir beratnya sekitar 30 kiloan, kurang lebih.
Sambil menunjuk hamparan tanaman nenasnya yang sedang berbuah, Ompu Binsar mengatakan, pengolahan ladang nenasnya dikerjakan sendiri, tapi sesekali menantunya perempuannya yang sudah menjanda serta cucunya datang menjenguk dan membantunya. “Hanya saya sendirian yang mengurus kebun ini dari pada terlantar,” tuturnya seraya menunjuk sebuah rumah gubuk di sudut ladang seluas lebih kurang setengah hektare. Suasana sepi terasa mencekam di sekitar perladangan itu. Tak satu orang pun kelihatan di sana kecuali si nenek tua. Panas terik matahari siang menambah lengang suasana. Sesekali kicau burung menggema dari pepohonan sekitar. Terasa jauh sekali dari kota, hanya sesekali ada kenderaan yang melintas memecah keheningan. Tampaknya nenek ini tak merasa susah dengan perjuangan hidup sendiri, malah ia seperti menikmati kehidupan dibelenggu kesunyian itu.
[caption id="attachment_338464" align="alignnone" width="546" caption="Nenek tua ini mengusahai kebun nenasnya sendirian di ladang sepi.(Foto:Kompasianer/Leonardo)"][/caption]
Di usianya yang uzur, nenek bertubuh mungil ini mengaku sering kewalahan mengurusi ladang nenas dan kopinya. Tampaknya pokok-pokok kopinya sudah banyak yang mongering, begitu juga tanaman nenasnya tampak kurang subur.” Sangat jarang diberi pupuk karena tak ada uang beli pupuk, apalagi mahalnya pupuk mana mampu saya yang tua ini membeli, makanya dibiarkan saja, kami timbun dengan daun-daun busuk, masih bisa tumbuh,” ujarnya saat berbincang di siang hari yang terik itu. Sebagian pokok kopi yang ditanami berdekatan dengan kebun nenas, daunnya pada berguguran. Ada beberapa pokok yang mendekati kepunahan. Lalu kata si nenek,” Kadang dibiarkan saja begitu, saya sudah makin tua, sebentar lagi juga sudah dipanggil yang diatas.” katanya memelas dalam bahasa daerah, sambil menengadah ke langit biru.
Apa oppung (nenek) tidak takut sendirian di ladang sepi begini? Dengan wajah datar, nenek itu menjawab seadanya,” kenapa takut, memang orang setua saya mau diapain, ada kok Tuhan yang melihat dan menjaga orang yang memanggil namanya.” Ketika saya jelaskan pernah ada kejadian di satu daerah, seorang nenek tua dibunuh orang tak dikenal hanya karena mengambil cincin 3 gram di jari tangan, nenek ini tertawa mesem.” Orang gila yang melakukan itu, nanti di neraka hukumannya sangat berat. Kalau saya mana ada apa-apa, lihat mas pun sudah lama tak pernah.”
Sedihnya lagi, nenek ini punya seorang putra dan sudah menikah. Tapi anaknya itu pun keburu sudah meninggal meninggalkan beberapa anak.”Sudah suratan tangan hidup harus sengsara begini,apa mau dibilang. Tak boleh menyalahkan nasib, semua manusia kaya atau miskin akhirnya tujuannya sama juga, kembali ke sang pencipta,” cetusnya polos. Prinsip-prinsip religius terkesan sangat kental sekali dalam sosok nenek tua ini. Dia mengajak kompasianer berteduh di gubuk anak kerabat dekatnya di kebun seberang ladangnya. Kompasianer mengambil sebotol aqua dari mobil, memberikan pada si nenek yang diterimanya dengan sangat senang hati.
Sehari-harinya Ompu Binsar berjalan kaki lebih kurang tiga kilometer dari kampungnya di Desa bernama Hutagugur menuju ladangnya, begitu pula sebaliknya saat mau pulang sore hari. Dia selalu membawa makanan dan air minum dari rumahnya ke ladang untuk disantap siang hari saat perut mulai meminta diisi.” Maklum saya sudah tua, terkadang untuk sampai ke ladang ini jalan kaki bisa satu jam lamanya,atau lebih,” imbuhnya.Dia menyerahkan hidupnya dengan sepenuh hati pada Tuhan Maha Pencipta, kapan pun dipanggil sudah siap menerima, karena pada akhirnya itulah kodrat setiap manusia.
“Saya mau pulang dulu ke rumah, nanti hujan turun bisa susah,”, katanya sambil beranjak mengambil tas bututnya berisi sebuah botol aqua dan baskom tempat makanan yang sudah kosong. Karena kebetulan ban mobil kami sudah dipasang, kami menawarkan untuk mengantar si nenek ke rumahnya di sebuah perkampungan yang suasananya sepi. Pada kemana semua orang di kampong ini? Tanya saya menatap rumah-rumah di sekitar yang pintu dan jendelanya semua pada tutup.” Semua ke ladang, nanti malam baru pulang,” kata si nenek.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI