Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kutinggalkan Cintaku Terkapar di Tuktuk (38)

5 Desember 2014   04:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:01 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rasa sepi kadang menjelma jadi jenuh. Tujuh hari di Tuktuk rasanya cukup bagi Nika membungkam kegalauan. Ia senang menikmati keindahan dan ketenangan di sini. Indahnya panorama dengan debur ombaknya yang romantis, tak menjemukan untuk direguk dari waktu ke waktu. Nika tak menyesal berada di Tuktuk, meski jenuh itu perlahan menyusup di hati. "Untung ada Riko, kalau tidak ngapain aku sampai seminggu di sini," kata hatinya pagi hari ke delapan.

Nika diam-diam mengagumi pemuda itu. Kepolosannya, kejujurannya, kerendahhatiannya, kehebatannya memetik gitar, suaranya yang bagus saat menyanyi, dan... juga kegantengannya. Pada yang terakhir ini, Nika tersipu malu. Lalu ada bisikan di sanubarinya," jangan-jangan kamu sudah menyukainya Nika? Jangan-jangan kamu merasa jatuh cinta?"

Ah, kamu hati, gampang kali kau merekayasa perasaanku. Kau salah, hati, rasa suka berbeda dari cinta,tau...
Nika seakan terbawa dialog dengan hatinya sendiri. Hatinya yang lain, yang jauh di lubuk sana.
Lalu hati yang lain itu masih menggodanya."Jangan salah lho Nika, cinta sering hadir dimulai dari rasa suka. Ingat tunanganmu Gito yang kini kamu tinggalkan. Dulu, awalnya kamu suka karena kamu anggap dia pemuda gentle, lalu kamu mulai merasa jatuh cinta."
Nika merasa disindir hatinya sendiri. Hati yang lain yang suka menggoda itu. Nika pun mendebat." Tapi ternyata rasa cinta itu salah alamat, bukan cinta yang sesungguhnya."
"Ya kamu benar Nik, tapi argumennya gitu tadi. Kamu suka Gito saat itu, lalu kamu jatuh cinta, ya kan?"
Nika membenarkan, juga dalam hati. Ia merenung memandang dirinya di kaca besar yang tergantung di sisi ranjang. Kemudian hati yang lain itu bertanya lagi,"Kamu suka Riko kan?"
Nika jujur menjawab:"Benar"
"Kamu senang bersamanya kan?"
"Benar."
"Kamu kagum pada petikan gitar dan suara dia?"
"Betul."
"Kamu mengagumi kebaikan hatinya?"
" Ya, itu yang terutama."
"Berarti ada tanda-tanda kamu jatuh cinta?""
Untuk yang terakhir ini, hati sejati Nika tak berani mengatakan "ya". Malah ia balik bertanya," Apakah kalau suka dan kagum sudah mengindikasikan cinta?"
Maka hati yang lain itu makin menggoda:" Ya, biasanya memang begitu, walaupun tak selamanya itu terjadi pada setiap orang."
Hati yang lain itu masih terus mengejarnya." Apakah kamu juga tak mau tahu atau ingin tahu tentang perasaan dia pada dirimu?"
"Tidak, saya tak tahu, sebab saya tak pernah terpikir ke sana," jawaban hati sejati.
"Berarti kamu tak jeli mencermati arti tatapan mata."
" Memangnya bagaimana tatapan matanya," uber hati sejati Nika penasaran juga.
"Dia mengagumi dirimu juga."
" Setiap lelaki kan selalu begitu pada setiap wanita, apalagi kata orang aku cantik." bantah hati sejati.
"Riko bukan pengagum kecantikan, karena banyak gadis yang menggilainya semua rata-rata cantik."
"Lantas, apa."
"Hatimu, kepribadianmu, perilakumu, kesantunan bahasamu, keposoitifan cara pikir dan pandangmu."
"Ah, yang benar..." kata hati sejati meragukan analisis hatinya yang lain.
"Kamu pasti merasakannya, diam-diam dan takut berterus terang, sebenarnya dia suka sekali pada dirimu."
"Yang tegas dong, suka atau cinta, gak usah ragu bilang itu," hati sejati Nika gusar.
" Ya, perlahan-lahan cinta itu tumbuh, tapi itu terbenam karena perasaan dan kesadaran tahu diri lebih kuat mengekang."
"Maksudnya?" Nika makin gusar.
"Tegasnya, dia tersandung mindewardigheids complex, kamu ingat kan kepanjangan dari rasa MC yang dulu kamu pelajari di kampus."
"Lho, rasa mc karena apa?"
" Seharusnya itu tak usah digambarkan Nik. Itu wajar, ibarat seseorang ingin memetik bintang di langit, tapi ia terhempas pada kejamnya ilusi yang tak mungkin jadi kenyataan. Dia tahu siapa dirinya, merasa tak berarti apa-apa dibanding dirimu, anak orang kaya terhormat, gadis yang cantik dan pintar, yang bisa sesukamu memilih pria yang sejajar dengan status keluargamu."
Nika marah pada pandangan yang terakhir itu. "Aku benci pada pola pikir yang menciderai hakikat kemanusiaan, status tak boleh dibiarkan menciptakan kesenjangan satu dengan yang lain. Itu salah besar."
Hati yang lain itu menertawakannya. "Nah, berarti pintu hatimu tak terkunci mati oleh kemungkinan-kemungkinan yang walaupun absurd. Itulah keistimewaan yang kamu miliki Nika, itulah kepribadianmu yang di masa sekarang sulit dicari, ibarat sebatang jarum yang terselip di antara timbunan jerami."
Nika pun terbawa tidur dinina bobo ilusi yang menggoda pikirannya. Riko tadi sudah pulang ke rumah kosnya, dan kepergiannya entah kenapa menghadirkan sepi mendalam di hati Nika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun