Nika merasa malu juga ketika sadar tangannya tadi mendekap perut Riko. "Sorry ya Rik gak sengaja,saking kagetnya jumpa kerbau tadi,hampir saja aku tergelincir dari boncengan," suara Nika lirih.
Riko mengurangi kecepatan motor,bertanya " Memang tadi kenapa,kok minta maaf."
Nika agak malu menjawab, "Ya tadi gak sengaja tanganku ke pinggangmu, kan tak baik dilihat orang."
Riko tergelak mendengarnya." Alaaah, itu aja kok minta maaf. Namanya juga boncengan. Kalau tadi tak pegang pinggangku, kan sudah terjatuh."
Lagi-lagi jawaban sederhana,polos, dan apa adanya. Tak ada kesan hal itu sesuatu yang istimewa atau luar biasa buat Riko.
"Ya udah kalau begitu. Kamu benar Rik," kata Nika membenarkan Riko.
Di jalanan mereka ketemu turis-turis bule menjelajah jalanan dengan sepeda. Mereka menikmati betul keberadaannya di Pulau Samosir. Masyarakat juga pelan-pelan makin mengerti apa itu pariwisata,dan sudah menerima setiap pendatang sebagai sesuatu yang biasa dan mendatangkan berkat bagi mereka.
"Masih jauh kampung Siallagannya,Rik," tanya Nika.
"Itu sudah dekat,"kata Riko dan melambatkan jalannya motor memasuki sebuah tikungan ke kiri.
Obyek wisata yang disebut Hoeta Siallagan adalah sebuah perkampungan kecil yang dibentengi tembok batu-batu besar. Riko memarkir motor di pinggir jalan. "Ini tempatnya, ayo masuk."
Nika melihat di gerbang masuk yang diapit dinding batu, tertulis Hoeta Siallagan. Riko menjelaskan,"Hoeta dalam bahasa kami maksudnya perkampungan."
Riko sudah cukup banyak menjelaskan seputar perkampungan yang konon memendam nilai-nilai mistis ketempoduluan itu. Nika juga sudah mendengar kesakralan sejarah perkampungan itu yang usianya sudah lebih tiga ratus tahun.
Di dalam kampung bersejarah ini Nika melihat banyak orang sudah duluan masuk. Ada rombongan turis dari Malaysia dan Singapura sedang asyk memperhatikan rumah-rumah berdesain Batak berjejer di sebelah kiri. Lalu agak ke ujung ada sebuah pohon besar,dan di bawahnya terdapat kursi-kursi batu kuno yang diceritakan Riko. Di kursi batu itu ada sekelompok turis muda sedang mendengarkan penjelasan dari seorang guide pria dalam bahasa Inggeris.
Riko dan Nika berhenti dekat pohon besar itu,ikut mendengarkan penjelasan sang guide. "Kursi batu dan pohon ini diperkirakan sudah berumur tiga ratus tahun lebih. Di sini zaman dulu raja-raja mengadakan rapat kalau ada masalah besar yang dihadapi," papar guide itu sambil menunjuk kursi batu yang berjejer di bawah pohon besar.
Nika mencermati dengan seksama paparan sang guide. "Amazing," katanya perlahan.
Guide juga menceritakan tentang hukuman pancung yang diberlakukan raja-raja dulu terhadap orang yang melanggar peraturan yang sudah baku. "Diadakan rapat musyawarah dulu di sini,dan kalau keputusan sudah ditetapkan orangnya bersalah dan harus dihukum pancung, di sana masih ada bukti-bukti sejarahnya bisa kita lihat," lalu guide menunjuk ke satu tempat lain di ujung kampung.
Kelompok turis itu digiring ke sebuah lokasi terkait, di mana hukuman pancung dilaksanakan." Di tempat ini terhukum akan dieksekusi oleh algojo yang sudah diberi tugas," kata guide dan diperhatikan para turis dengan penuh takjub,ketika sang guide mengambil sebilah pedang kayu sebagai sampel. Dibantu seorang anak muda, ia memperagakan bagaimana dulu hukuman pancung kepala itu dilakukan. Sang terhukum digeletakkan kepalanya pada sebuah alas terbuat dari batu, dan saat itu setelah mendaoat aba-aba algojo eksekutornya siap menebas kepala yang akan dipenggal.
Nika bergidik menahan nafas menyaksikan peragaan itu, tak sadar menutupi wajah dengan kedua telapak tangan dan menyandar ke bahu Riko. dan Riko membiarkan saja Nika terbawa arus perasaan ngerinya.
" Wah mengerikan ya Rik," bisik Nika ketika melepas telapak tangan dari wajahnya,kembali menyaksikan peragaan-peragaan berikutnya.
"Aku teringat cerita di Perancis juga dulunya ada pedang pemenggal kepala yang dinamakan guillotin. Ihhh,ngerinya", Nika tersadar telah terlanjur menyandar ke bahu Riko. Kedua kalinya Nika tersipu jengah."Maaf ya Rik lagi-lagi... yah saking ngeri perasaanku tadi,"
Riko justru berlagak pilon,tak mengerti yang dimaksud Nika.
"Kenapa selalu minta maaf, memang kenapa tadi."
Nika jadi serba salah. Ia tak perlu menjelaskannya."Ya udahlah Rik, nggak apa-apa kok."
Riko membawa Nika ke sebuah toko souvenir berisi hasil kerajinan tangan warga setempat. Ada bentuk tongkat kayu dengan ukiran khas, pedang, pisau, maket rumah batak, dan aneka souvenir lainnya." Kalau minat,bisa dibeli," kata Riko.
NIka melihat-lihat aneka benda kerajinan itu, dan berbincang dengan ibu yang melayani di toko. Sejumlah perempuan kelihatan sedang sibuk mengerjakan benda kerajinan dengan alat-alat sederhana.
" sepertinya kukenal amang, kan sudah sering kemari," tegur salah seorang di antara ibu itu kepada Riko.
"Ya saya memang sudah beberapa kali ke sini membawa turis," kata Riko.
Lalu sambil menunjuk Nika yang berada di dalam toko suvenir, ibu itu bertanya," Kelihatannya dia sepadan benar denganmu,apa dia isteri atau calon isterimu."
Riko tersenyum lebar." Ah tidaklah namboru.Dia  juga turis dari Jakarta.Aku hanya menemani."
"Cantik amat ya, boru apa gerangan dia."
" Dia bukan orang Batak.Dia mungkin Gadis Jawa atau Sunda, belum kutanya yang mana."
"Boooh, kau rayulah dia siapa tau dia bisa jatuh cinta sama kau. Kau juga kan ganteng." Ibu-ibu lainnya menimpali dengan tawa.
"Namboru ini bisa aja.Memangnya gampang bikin  orang jatuh cinta, ah gak level lah namboru, dia itu anak orang kaya." Riko menepis apa adanya.
"Ah zaman sekarang mana ada soal  kaya atau miskin.Kalau sudah kena di hati, mana ada yang mustahil."
Nika keluar dari toko dan dengan santunnya menganggukkan  kepala pada ibu-ibu yang sedang membuat kerajinan itu. Ia sempat mendengar percakapan mereka dengan Riko, tapi karena bahasa lokal, Nika sedikitpun tak  mengerti. Cuma tadi ia ada mendengar kata "jatuh cinta". entah apa dan kemana arah perkataan itu,Nika tak tahu dan tak ingin menanyakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H