Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kutinggalkan Cintaku Terkapar di Tuktuk (16)

5 Oktober 2014   22:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:16 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel: Leonardo JT (16)

Riko baru selesai mandi pagi itu di tempat pemondokannya, tak jauh dari hotel Nika menginap. Tubuh atletisnya yang kecoklatan masih dililit sehelai handuk bertuliskan Salib Kasih. Handuk yang dibelikan pacarnya Riris saat piknik ke lokasi salib kasih di Tarutung. Ini satu-satunya souvenir pemberian Riris yang masih utuh disimpannya, sebelum Riris goyah dari kesetiaannya.

Sambil bersiul, Riko melap badannya sampai kering. Bentuk tubuhnya yang persegi tiga memang ideal. Sering orang berdecak kagum dan mencemburui , kalau melihat Riko sedang buka baju. Raut wajahnya yang tampan, macho, dengan rahang yang kuat. Rambut hitamnya sedikit berombak, membuat tampangnya sekilas mirip Brad Pitt, aktor macho yang membintangi film Troy.

Riko bukan Cuma perjaka ganteng yang sering membuat anak dara suka mengkhayal. Dia juga seorang lelaki bertenaga. Pernah beberapa kali ada mobil mogok di jalan rusakdi Tomok dan Pangururan, bisa didorongnya sendirian. Orang pada heran. Pernah pula satu ketika ia dikeroyok sejumlah pemuda di Siantar, bisa diatasinya dengan pukulan tangannya yang sekeras batu. Lawannya lari serabutan. Sejak itu, Riko disegani kaum muda di Tarutung, Parapat, sampai Samosir. Tapi bukan berarti Riko sok jago. Ia tipe anak muda yang memegang teguh prinsip kesopanan dan rendah hati. Riko memang low profile.

Namboru (saudara perempuan ayahnya) di Tarutung menceritakan kilas balik masa kecil Riko. Katanya Riko itu dilahirkan balutan. Ada semacam selaput tipis membungkus tubuhnya setelah lahir atas bantuan si baso (dukun beranak), di dusun Sidao-dao, tak jauh dari gunung Martimbang.

Kata namboru itu kalau seseorang lahir balutan, itu nilai plus bagi seorang anak lelaki. Pola pikir lokal percaya, anak balutan kelak memiliki keistimewaan fisik. Selain bertenaga kuat, juga konon tahan dibalbal (dipukuli). Bahkan, kata namboru, entah dibumbui atau memang kenyataanm ada juga anak lelaki yang lahirnya balutan, tahan ditikam. Kebal terhadap senjata tajam. Riko tertawa mendengar cerita yang dianggapnya berlebihan itu.

Tapi iseng-iseng Riko menggores tangannya dengan ujung belati. Tangannya mengeluarkan darah, tapi tak terasa perih. Riko jadi tak percaya cerita itu.” Bah, kata namboru kebal kalau balutan, tadi kugores tanganku dengan pisau, berdarah juga,” kata Riko seraya menunjuk tangannya yang digores. Namborunya pun tertawa terbahak seraya menjewer kupingnya.

“Siapa menyuruh kau menyayat tanganmu, aku hanya menceritakan apa yang diceritakan orang, katanya anak yang lahir balutan tahan tikam, tapi tak semua begitu,” kata namborunya tertawa geli.

Meski tidak benar kebal senjata tajam, Riko menyadari dirinya punya beberapa keistimewaan. Selain kuat, lincah, juga jarang dihinggapi penyakit. Kalau ada luka di kulit, cepat baik tak meninggalkan bekas. Biar begadang sampai pagi saat ada acara hiburan di kafe atau undangan resepsi, ia merasa biasa saja. Temannya Simon, Paul, Gomos, Jonggi, heran dibuatnya. Riko dianggap ditemani tondi (roh) leluhurnya, bahkan sempat disangka pernah berguru ilmu hitam. Tapi Riko tak merasa disemayami tondi. Dia steril dari sesuatu yang berbau mistis. Dan Riko tak percaya dengan hal-hal seperti itu.

Apapun ceritanya, Riko disayangi di mana pun berada. Disenangi bapak-bapak di kedai tuak, disayangi kaum ibu, dan menimbulkan cinta terpendam banyak anak gadis. Ada nilai-nilai luhur kebaikan melekat dalam dirinya. Riko sangat membenci kejahatan, paling tak suka dengan kesombongan. Biarpun masih muda usia, 27 tahun, Riko sering menasehati temannya generasi muda agar jangan terperangkap perilaku jahat yang sedang berkecamuk di era kemajuan teknologi. Riko juga ingatkan, jangan coba-coba terjerumus jadi pengguna narkoba. Pernah satu ketika Riko memergoki seorang temannya mengisap ganja di Parapat, langsung ditamparnya, dan semua sisa ganja di kantong temannya dibuangnya ke danau. Awalnya ia dibenci temannya itu, tapi belakangan sadar sendiri, dan sudah bertobat.

Suatu hari Riko bertemu gadis di satu kampung sedang menangis tersedu karena dihamili pacarnya.Sang pacar rupanya tak mau tanggungjawab. Sudah diadukan pun ke polisi, masih bebas berkeliaran, karena orangtuanya orang kaya. Malah suka bekoar di luaran bahwa ia playboy kawakan. Riko mengajak gadis malang itu menunjukkan siapa lelaki yang menghamilinya tapi tak bertanggungjawab. Setelah tiba di sebuah kedai, Riko menarik salah seorang pemuda berjeket jins keluar. Ditanya sekali dua kali, apa betul ia pacar gadis itu,apa betul ia telah melakukan hubungan intim tapi tak tanggungjawab. Pemuda itu membantah, malah menantang Riko berkelahi. Tapi setelah Riko mengirim dua kali lampet pohul-pohul (bisa disamakan dengan ketupat bengkulu) ke arah mulut si pemuda, dia pun meraung minta ampun. “ Coba anggap dulu gadis pacarmu ini adik kandungmu lalu dibuat orang hamil tapi tak tanggungjawab, bagaimana perasaanmu. Kalau kamu tak peduli dengan itu, berarti kamu bukan manusia punya hati lagi,” dan ketiga kalinya tinju Riko melayang, membuat pemuda itu terpental dua meter ke tanah. Dia pun menunduk-nunduk terbungkuk mohon maaf. “Jangan minta maaf ke saya, minta maaf sama pacarmu,” bentak Riko. Pemuda itu pun memegang tangan pacarnya, minta maaf. “Saya mengaku salah Donda, saya yang berbuat itu, dan saya siap menikahimu.” katanya dengan bibir bengkak.

Belakangan mereka menikah resmi di gereja. Mereka ternyata jadi pasangan suami isteri yang berbahagia, diberkati tiga anak, dan rejeki bagus setelah membuka tokok grosir gula di Tebing Tinggi.

Riko pernah bertemu lelaki yang dihajarnya itu di Parluasan, Siantar. Riko ditraktir makan minum sepuasnya. Malah disisipkan lagi segumpal uang ke kantong celananya, walau Riko mulanya menolak.” Kalau bukan karena abang pukul aku hari itu, entah bagaimana jadinya. Ternyata dia isteri yang sangat baik dan membawa rejeki bagi hidupku,” katanya seraya menunjuk rahangnya yang pernah dibogem Riko.

Di Parluasan dulunya nama Riko memang tak begitu populer. Paling ada beberapa preman yang mengenalnya. Tapi, setelah dia pernah main gitar dan tarik suara di sebuah kedai di pinggiran terminal, ia disanjung-sanjung para preman bagaikan artis terkenal. Riko dibujuk ikut menjadi kelompok mereka, tapi Riko menolak dengan halus. Mungkin sudah ada bisik-bisik sesama preman, tentang ketangguhannya di Parapat dan Samosir, dengan bumbu cerita berlebihan . Tapi, sebenarnya Riko disegani bukan karena kegarangannya, melainkan karena kebaikannya, sikap santunnya, dan solidaritasnya yang tinggi melihat anak-anak pasaran.

Gomos muncul di depan rumah pemondokannya, berseru:” Hoi bang Riko, kok lama sekali mandinya, apa tak ingat pagi ini mau jalan-jalan dengan gadis cantik itu.”

Riko melongok dari jendela, tersenyum.”Aku sudah siap mandi, tinggal pakai sepatu. Sebentar lagi sudah meluncur ke hotel,” kata Riko.

Gomos berseru lagi,” lemparkan dulu sebatang rokokmu bang, aku belum merokok dari tadi, lagi kempes kantongku sudah dua hari.”

Riko mengambil bungkus rokoknya di meja, langsung dilemparkan lewat jendela.” Ini, ada beberapa batang lagi, sama kamu aja semua itu.”

Gomos tertawa senang.” Trims ya bang. Aku ucapkan selamat bersenang ria dengancewek yang mantap, tapi jangan lupa sama pacarmu yang di Tarutung dong.”

Riko mengangguk, senyum sambil memakai sepatunya. “banyak kali omongmu Gom, kayak burung sitapi-tapi aja kau.”

Lima menit kemudian, Riko sudah di atas motornya menuju hotel tempat Nika menginap. Ia tampak segar dan ganteng dengan celana jins warna lusuh dan kaos biru berliris-liris putih yang ditutupi jaket ketat membungkus tubuh atletisnya. Diparkirnya sepeda motor bututnya di halaman parkir hotel, lalu menjumpai manager hotel.” Apa aku terlambat?” katanya. Manager itu melihat ke jam dinding, berkata.” Kurasa belum Rik, tapi nona itu sudah nanya tadi apa kau sudah di sini. Kujawab belum, sebentar lagi datang. Nona itu mungkin masih mandi dan berkemas.” (next)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun