Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kutinggalkan Cintaku Terkapar di Tuktuk (15)

4 Oktober 2014   03:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:27 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412342725277315646

[caption id="attachment_363769" align="aligncenter" width="300" caption="Ill: novel leonardo"][/caption]

Novel Leonardo JT

Nika tegak di depan kaca oval besar di kamarnya, mengamati dirinya sendiri. Sweater biru liris-liris hitam itu sudah dikenakannya. Juga syal wool warna coklat manggis terlilit di lehernya. Mata indahnya masih juga menatap wajahnya. Menatap seluruh bagian tubuhnya.

“Benarah pujian mama dan Tante Rosa, bahwa aku cantik mirip seperti Krisdayanti semasa mudanya?”, hatinya sendiri yang bertanya. Nika tersenyum pada duplikatnya di cermin besar itu.Terkadang malu juga, mengagumi diri sendiri.

Diamatinya semua dari atas ke bawah. Semuanya masih seperti biasa. Tak gemuk tak kurus. Ideal, kata semua temannya diJakarta. Bahkan kata beberapa teman, tampilan bodinya memenuhi syarat jadi pragawati atau pramugari. “Kamu pantas kali kalau melangkah di atas cat walk, kata temannya Surya satu saat. “Apa-apaan kamu Nika, kok suka lama menatap diri sendiri di depan kaca,” satu ketika Nika malu ditegur mamanya ketika sedang mengaca-ngaca di kamar. Mamanya bilang, jangan seperti Narciscus, tokoh dalam mitologi Yunani kuno yang jatuh cinta dengan bayangannya sendiri. Nika tertawa bila ingat perkataan mamanya.

Suasana malam di Tuktuk terasa begitu nyaman dan menentramkan. Meski jumlah wisatawan asing ke tempat ini menurun dibanding era 80 an, tapi suasana tetap hidup. Hotel, losmen, atau yang dinamaka n acomodation , cukup banyak di sana. Tersedia juga akomodasi dengan desain rumah Batak Toba. Banyak turis bule menginap di akomodasi rumah batak, mungkin merasa lebih bebas lepas.

Duduk beberapa menit di taman, seperti kemarin malam, Nika ingin mengisi perut dengan makanan ringan. Dia memilih salah satu resto di tepi jalan, yang didepannya tertulis European Food.Tapi sebenarnya di situ juga Indonesian Food, nasi goreng dengan telur mata sapi, serta aneka jus buah. Nika mampir di salah satu resto sederhana dengan pencahayaan ragam warna lampu sehingga terkesan eksotik. Resto itu dilayani anak muda dan gadis yang terlihat lincah membawa sehelai daftar menu ke meja Nika.”Saya minta nasi goreng aja plus jus jeruk panas ya,” kata Nika. Gadis pelayan itu mengangguk ramah dengan senyum profesionalnya.

Turis bule yang duduk di sudut resto, tampak melambai pada gadis pelayan resto. Keduanya terlibat percakapan dalam bahasa Inggeris. Meskipun masih patah-patah, tapi sudah banyak generasi muda di daerah wisata ini bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggeris. Lumayan bisa nyambung dengan turis bule yang buta bahasa Indonesia.

Turis bule:”Have you got married?” (Anda sudah menikah). Gadis itu tersenyum lalu menyahut dengan lembut:” Yes, I”have got married. But, two years ago we divorced”. (Ya, saya sudah menikah, tapi sudah dua tahun cerai).

Turis:” Wou, why did it happen to you?” (Wou, kenapa itu bisa terjadi padamu)

Gadis pelayan:” My husband had another woman” (suamiku punya wanita lain)

(Turis bule yang gaul itu mengeluarkan dengusan “Haaah?” sambil tertawa.)

Turis : “Do you want to get married again?” (Apa anda tak berniat kawin lagi)

Gadis pelayan:” I dont know, i”m still scared to get marriedagain”. (Entahlah, saya masih takut kawin lagi)

Turis : Dont worry. I could get you an honest and good husband” (Jangan khawatir, saya bisa mencarikanmu suami yang jujur dan baik)

Gadis pelayan resto itu tertawa terpingkal-pingkal. Si bule hanya tersenyum-senyum, seraya mengacungkan jempol jarinya, seperti mengisyaratkan gadis pelayan itu cantik.

“Thanks for your kindness, “kata gadis berwajah manis itu sambil mengangkatgelas dan piring bekas makanan bule itu, membawanya ke ruang belakang.

Nika merasa terhibur juga mendengar dialog tadi. Rupanya seperti juga di Bali dan Lombok yang pernah dikunjunginya dengan mama dulu, pelayan-pelayan hotel dan resto di tempat wisata Tuktk sudah mampu berbahasa Inggeris. Satu hal yang penting dimiliki warga di tempat wisata yang sering dikunjungi turis mancanegara.

Setengah jam di resto itu lumayan menyejukkan hatinya. Lupa hal-hal yang membuatnya galau. Di resto dan kedai di seberang jalan sempit itu sejumlah anak muda ria sambil main gitar. Nika sempat terbawa angan mendengar lagu-lagu Batak sentimentil yang dinyanyikan anak-anakmuda itu. Nika memang tak mengerti artinya, Cuma senang dengan iramanya yang dinyanyikan dengan kompak. Di Jakarta juga ia sering mendengar lagu Batak yang diputar tetangga lewat Dvd dan kaset. Tetangganya Pak Hutabarat itu paling fanatik memutar lagu Batak pada pagi dan malam hari dibunyikan cukup keras dengan sound sistem yang canggih, dan Nika selalu mendengarnya saat berada di kamarnya lantai dua rumah mentereng itu.

Nika merasa sudah waktunya pulang ke hotel untuk istirahat tidur. Setelah membayar makanannya ia beranjak meninggalkan resto, menyusuri jalan yang diterangi lampu-lampu resto dan rumah kios di kiri kanan jalan. Puluhan pasang mata menatapnya. Lalu seperti kemarin malam itu, ada anak muda sedang duduk di teras rumah bersuit. Nika menoleh tapi tak merasa khawatir sedikit pun. Ia yakin warga di sini baik-baik.

Nika percaya diri melangkahkan kakinya. Lagi pula rasa percaya itu karena merasa sedikit ilmu bela diri kungfu dan yudo yang pernah dipelajarinya dari seorang Jepang, cukup berguna melindungi diri kapan perlu. Tapi papanya banyak bergaul dengan orang Sumatera, khususnya orang Batak dan Padang. Kata papanya, orang Batak memang kelihatan keras, tapi sebenarnya di dalam bukan begitu. Orang Batak itu kalau sudah dekat dengan kita, paling enak ditemani dalam pergaulan sehari-hari. Mereka sangat menjunjung tinggii adat peninggalan leluhurnya, meskipun sudah banyak yang tak lagi mengerti atau tak begitu perduli lagi dengan adat, terutama yang sudah lahir dan besar di kota-kota besar di perantauan.” Itu penjelasan papanya ketika Nika bilang mau ke Medan, menghindarkan diri dari Gito.

Nika merebahkan tubuhnya di ranjang empuk itu, memeluk guling, setelah menanggalkan pakaiannya dan mengenakan pakaian tidur warna merah. Sejenak ia membayangkan perjalanannya yang pertama besok dengan anak muda bernama Riko itu. Nika tertanya-tanya dalam hati, kira-kira bagaimana ya Riko itu, apa benar orangnya baik bisa dipercaya. Tadinya Nika pikir ada pemandu wanita yang bisa mendampinginya, biar lebih aman. Tapi karena manajer dan para room boy hotel semuanya menjamini kebaikan Riko, maka Nika pun mulai tenang. Ya melihat besok jugalah, kalau memang kurang cocok atau dia macam-macam, cukup hanya besok saja bantuannya diperlukan. Nika memejamkan mata, dan beberapa saat kemudian sudah tidur pulas dengan bantal guling dalam pelukan.(next)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun