Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Warganegara Pemilih Dituding Pengkhianat

10 April 2014   21:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:49 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bahwa money politic itu ada dan sudah menjadi gambaran umum dari fenomena yang terjadi setiap ada perhelatan pemilihan di negeri ini, tak perlu lagi kita permasalahkan. Biarlah itu menjadi topik kecaman dan bahan diskusi yang tak bosan-bosannya di kalangan para komentator atau pengamat dengan mengatasnamakan rambu-rambu hukum serta kausalitasnya. Sementara money politic itu, like or dislike, masih akan terus berlanjut atau mungkin makin menggila di masa mendatang.
Apakah jika money politic tak perlu lagi digembar-gemborkan, pertanda menebalnya apatisme? Mungkin juga. Tapi menurut teori kausalitas, apatisme muncul ketika suara-suara peringatan, petuah, wejangan, atau bentuk-bentuk ultimatum dan sanksi, tak lagi didengarkan, karena para pendengar sudah kehilangan gendang telinga untuk mendengar kebenaran-kebenaran politis.
Bahwa money politic itu salah menurut ketentuan yang ada, itu sah-sah saja. Tapi bahwa menerima sesuatu pemberian untuk menentukan pilihan seseorang, juga dianggap sah dan benar menurut persepsi penerima. Itu bisa dimasukkan sebagai bagian dari hak asasi atau hak privacy seseorang, sehingga seseorang yang menerima uang untuk mencoblos seorang caleg, merasa itu bukan kesalahan. Seorang pemilih pernah saya dengar mengumpat (marah),"memangnya saya ada menerima uang dari moyangmu? mana buktinya saya memilih seseorang karena diberi uang?"
Maka, maraklah aksi bagi-bagi uang itu dari para caleg. Tak selalu langsung, mungkin melalui kurir atau yang namanya tim sukses. Data penerima yang dianggap komit dibuat sedemian rupa, diberi semacam uang panjar sebagai "ingat-ingat", dan jelang hari H masih menyusul uang jajan di TPS. Fakta yang penulis temukan pada sejumlah lokasi TPS di Sumatera Utara selama seminggu jelang 9 April, mengakumulasi ragam bentuk modus yang variannya beda satu sama lain, namun tujuan sama.
Pada beberapa kampung di kawasan Tapanuli, Sumatera Utara, taburan pemberian uang atau ada yang dalam bentuk benda sebagai oleh-oleh ( sarung dan payung), berjalan mulus seperti suatu hal biasa. Ironisnya, di satu kampung ada warga yang menerima uang dari tiga sampai lima orang tim  caleg. Entah siapa yang akan dicoblos saat hari H, hanya dia yang tahu. Tapi, pastinya sadar atau tak sadar, sudah ada yang dirugikan, ketika caleg lain yang sudah memberi tapi tak dicoblos merasa korban permainan yang dia buat, atau merasa dikhianati.
Rabu petang, ketika penghitungan suara usai, suara omelan dan cetusan kekecewaan atau amarah, mulai terdengar di sana-sini.
Sampel yang saya bidik di TPS 2 seputaran Desa Hutabarat, Kecamatan Tarutung, Sumatera Utara. Ada warga yang tampak puas karena jumlah suara caleg yang didukungnya sesuai dengan target. Tapi, di lain pihak terdengar gerutuan dari tim caleg tertentu, karena jumlah suara caleg dukungannya jauh meleset dari yang terdata. Seorang warga bernama Sihombing uring-uringan menghentakkan kakinya di area TPS," bangsat kurang ajar semua, masak suara hanya 28 dari seharusnya 200 an yang sudah kami data.Kualatlah mereka yang berkhianat."
Gerutu atau caci maki juga terdengar dari tim sukses caleg lainnya. Rupanya angka yang diumumkan KPPS untuk setiap caleg, jauh dari target.
Kisah-kisah konyol yang terdengar dari warga, terkesan memprihatinkan jika mengacu pada konotasi kejujuran berdemokrasi. Pemahaman tentang demokrasi itu sepertinya telah diplesetkan menjadi momentum mencari keuntungan dari orang yang akan diuntungkan. Akhirnya orang yang menabur untuk diuntungkan harus legowo menjadi buntung. Untung-untung sang caleg tidak diterkam stres sampai ditandu ke RSJ.
" Semua sudah jadi pengkhianat, kami sudah bagi-bagi uang untuk 200 orang, nyatanya beginilah hasilnya, sepertiga dari target tak tercapai," keluh Sihombing sambil bersandar di teras rumah warga, menggaruk rambutnya yang tak gatal.
Celakanya, kata dia dengan mata memerah, lumayan kalau partai pengusung menang secara nasional, ini melorot begitu jauh. Astaga, saya benar-benar tak berani nonton tayangan tv yang terus menerus menayangkan angka persen celaka itu tiap detik, tak berubah sedikit pun." Maka perasaannya seperti dihajar dua kali, caleg lokal kalah, caleg provinsi dan pusa terkapar, partai juga tiarap."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun