Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kerbau Disembelih, Tanduknya Jadi Sumber Duit

31 Juli 2014   21:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:45 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14067913101022178104

[caption id="attachment_350292" align="aligncenter" width="600" caption="Kerbau disembelih, tanduknya mendatangkan uang.(Foto:Leonardo)"][/caption]

Berapa ekor kerbau atau sapi yang disembelih manusia setiap hari atau setiap minggu di dunia ini? Pasti sulit memastikan, kecuali ada hitungan resmi asosiasi rumah potong hewan kerbau yang mengkalkulasi. Tapi yang pasti hewan besar yang dungu itu minimal sekali seminggu pasti ditamatkan riwayatnya di rumah potong, selain untuk kebutuhan pesta atau perayaan hari besar tertentu. Daging kerbau di hampir setiap negara menjadi salah satu kebutuhan konsumsi dari dulu hingga kini. Selain itu bagi etnik tertentu seperti Batak Toba di Sumatera Utara, kerbau menjadi symbol martabat sebuah keluarga yang punya hajatan pesta adat. Tak setiap keluarga mampu menyembelih kerbau karena maklum, harganya cukup mahal. Di kawasan Tapanuli, bila ada orang tua meninggal dan pemberangkatannya secara adat menuju liang kubur menyembelih seekor atau lebih kerbau, maka disebut pihak keluarga telah melaksanakan “adat na gok” (adat besar). Pasti berbeda jika keluarga hanya menyelenggarakan adat dengan menyembelih hewan kecil.

Tapi, bukan tentang itu makanya tulisan singkat ini hadir di kompasiana. Ada sisi lain terkait nostalgia pemanfaatan bagian lain dari seekor kerbau setelah disembelih, yakni tentang tanduknya. Selama berpuluh tahun, tanduk kerbau juga memberi manfaat lain bagi banyak orang, bahkan jadi sumber penghidupan sebagian warga yang kreatif.

Dulu, di satu desa bernama Desa Hutabarat Parbaju, Tapanuli Bagian Utara, Sumatera Utara, banyak penduduk memilih profesi sebagai perajin tanduk kerbau. Desa itu pernah dijadikan pemerintah setempat menjadi semacam pilot proyek kerajinan tangan, selain kerajinan ulos di Desa Simorangkir. Tapi semuanya kini tinggal kenangan. Satu demi satu perajin tanduk itu meninggal dunia, sementara proses regenerasi tidak berjalan mulus.

Di kota turis Parapat, sampai tahun 2000, masih bisa ditemui benda-benda souvenir yang diolah dari tanduk kerbau. Diantaranya, tongkat, alat penggaruk, sisir kutu, atau pipa rokok. Semuanya itu bukan produk dari Parapat atau dari Bali, melainkan asli produk dari Desa Hutabarat Parbaju Tarutung. Bahkan alat pengkait jala atau biasa disebut suban, yang biasa dipakai nelayan di sekitar Danau Toba, adalah buatan perajin tanduk dari Hutabarat. Entah sudah berapa banyaknya suban dari Tarutung dipakai nelayan di kawasan itu dalam kurun waktu puluhan tahun.

Para perintis kerajinan tanduk di Hutabarat antara lain, Manatarip Hutabarat, Darius Hutabarat, St Ual Silitonga, Ungkap Hutabarat, St PL Sibarani. Mereka generasi pertama yang telah meninggal dunia. Pada generasi kedua tercatat nama Albiun Hutabarat, Pajok Hutabarat, Parentok Hutabarat, Arnold Hutabarat, Paralo Hutabarat. Disusul kemudian generasi penerusnya, Hotman Silitonga, Amudin Hutabarat, Tungkol Simatupang. Profesi kerajinan tanduk ini sempat melebarkan sayapnya ke daerah Deli Tua dan Pangkalan Berandan. Dua orang keturunan perajin itu, yakni Raymond Hutabarat dan Antoni Hutabarat sempat bertahun-tahun membuka usahanya di sana, sebelum kemudian memutuskan untuk mudur teratur.

Generasi berikutnya yang masih bergelut mengukir tanduk kerbau di desa itu adalah Amudin Hutabarat dan Janri Hutabarat. Sampai tahun 2003, Amudin Hutabarat masih aktif menjajakan tongkat dan alat penggaruk gatal buah tangannya ke Parapat dan Balige. Tapi kemajuan zaman dengan munculnya alat berbahan plastik membuat benda kerajinan dari tanduk terdesak. Permintaan pasar pun makin berkurang. Akhirnya Amudin memutuskan “pensiun”. Dia memilih hengkang cari lapangan kerja baru di ibukota Jakarta.

Lalu, Janri Hutabarat merupakan generasi terakhir satu-satunya yang bertahan sampai tahun 2006. Dia adalah cucu dari Darius Hutabarat salah seorang perintis kerajinan tanduk di daerah itu. Semula Janri ikut orangtuanya di Berandan membuka usaha yang sama. Belakangan sejak 2003, Janri pulang kampung. Dia mulai membuka usaha mengukir tanduk di pinggir jalan raya Tarutung-Balige. Usahanya sempat lancar, utamanya membuat tongkat dan pipa rokok. Sentra pemasaran masih seputar kota Parapat. Banyak turis mancanegara menaruh minat pada tongkat dan pipa rokok yang didesain dengan cukup artistik. Tapi panggilan ajal juga yang mengharuskan sang generasi terakhir ini betul-betul harus berakhir sampai di situ. Pertengahan 2006, setelah menderita sakit beberapa lama, Janri Hutabarat pun meninggal dunia masih berstatus perjaka.

“Saya punya cita-cita membangkitkan kembali usaha kerajinan ini, bahkan kalau bisa mampu bersaing dengan benda terbuat dari plastik yang membanjiri pasaran”, katanya bersemangat . Janri menyebut dirinya generasi paling muda dari perajin mengolah tanduk kerbau itu.

Pemda setempat memang memberi perhatian terhadap usaha kerajinan eksklusif ini. Melalui Dinas Perindustrian setempat, pemerintah pernah memberi bantuan berupa kemudahan memasang arus listrik ke dusun Panaharan Hutabarat, salah satu basis perajin tanduk di kawasan itu. Bahkan pemerintah juga memberi seperangkat alat pemotong dan pengasah tanduk dari listrik. Itu dimaksudkan untuk memperlancar proses pembuatannya. Selain itu beberapa perajin dari desa itu diikutsertakan mengikuti pameran industri ke Medan Fair atau PRSU di Medan.Meski sering ada rasa tak puas, karena merasa hanya “diperalat” instansi terkait. Honor yang diterima tak sebanding dengan capeknya nongkrong di sana.

Usaha kerajinan tanduk kerbau itu kini hanya tinggal kenangan. Masihkah ada generasi berikutnya yang bisa meneruskan jejak langkah para pendahulu? Nampaknya proses generasi untuk melestarikan kerajinan ini tidak mulus. Kemajuan teknologi dan semakin banyaknya produk-produk baru yang lebih praktis telah membuyarkan semangat keturunan para perajin untuk mengikuti jejak leluhurnya. Sementara pihak instansi terkait sendiri, sejauh ini tidak menampakkan adanya ide atau inisiatif untuk menghidupkan kembali usaha kerajinan tanduk khas Tarutung. Sementara itu,para pengumpul tanduk kerbau di rumah potong hewan harus rela kehilangan sumber pendapatannya, sejak tanduk kerbau tak laku lagi dijual kepada para perajin souvenir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun