Boleh dianggap guyon atau sensasi. Tapi dalam politik apa yang mustahil terjadi. Pasca reformasi berekor panjang, orang lekas tua akibat perilaku kebanyakan elit bangsa yang sudah memasuki fase out of control.
Bangsa ini sedang dirundung krisis multi dimensi. Termasuk (terutama) krisis wibawa, krisis pamor, krisis kharisma. Gejala apa ini. Sebuah testimoni tentang fenomena ego yang makin menggunung. Testimoni tentang ambisi politik jabatan, pembenaran konsepsi visi misi dan tebaran retorika seindah puisi Rudyard Kipling. Retorika dibalut komitmen mempersembahkan yang terbaik buat bangsa dan negeri. Atau orasi-orasi konyol bermuatan amunisi dendam atau pretensi dipahlawankan dengan mengutak-atik tragedi-tragedi masa silam. Para elit bangsa (tak terbatas cuma elit politik) secara berjamaah melakukan pembohongan ke tengah khalayak.
Mengobarkan kebencian secara sistemik seputar sosok-sosok yang pernah berkibar di negeri multi etnik ini. Â Tahukah kita, kalau mayoritas rakyat jelata tak tahu menahu jargon-jargon indah yang menjanjikan perubahan pada status sosial mereka. Tahukah kita puluhan juta warga yang terperangkap kemiskinan di sudut-sudut pedalaman paling jauh, tak butuh informasi beraroma politik. Yang mereka butuhkan bagaimana dapur mereka bisa berasap setiap hari, bagaimana bisa makan menu yang enak sekali seminggu saja, bagaimana agar infrastruktur di desa benar-benar sesuai harapan, bagaimana agar pemerintah jujur mengutamakan kepentingan rakyat tidak hanya kepingin dielu-elukan rakyat saat berkunjung ke desa, dan ratusan bagaimana-bagaimana lainnya yang melekat dalam impian rakyat.
Tahukah kita, rakyat yang seharian dipanggang matahari di sawah dan hutan sunyi, saat pulang malamnya harus dibuat bengong oleh suguhan berita korupsi, kriminal, selebriti yang kawin cerai, maniak seks semacam pedofilia, kasus century dan hambalang yang "marambalangan" (bahasa Batak= tak menentu), koruptor kaum Adam dan Hawa yang begitu gampangnya dimasukkan ke penjara, lalu ramai-ramainya tayangan capres cawapres dengan bola liar yang bergelindingan ke sana kemari, entah kapan berhentinya.
Maka seorang petani tua yang sedikit memahami informasi (karena pernah duduk di bangku SMP) Â berkata pada sesama warga yang nangkring nonton tv di sebuah warung," holan hata semua yang di tv ini ya, sekarang begini besok begitu, pada hal kita juga rakyat ini menentukan nasib mereka". (Holan hata bahasa daerah Tapanuli = omong doang).
Di suatu malam saat tayangan TV 7 memperlihatkan Tukul Arwana dengan gaya cerdasnya bercengkerama dengan bintang cantik Sophia Latjuba yang katanya sedang merapat ke Ariel mantannya Luna Maya, salah seorang pria di warung yang tadinya duduk angkat kaki, tiba-tiba berdiri seraya membuka topi lusuhnya, berkata dengan nada keras yang serius, " Nah ini dia si Tukul, kenapa bodoh sekali semua parpol tak melirik dia jadi calon presiden.Pasti aku akan coblos. Bagaimana, setuju tidak?" setengah berteriak pria itu menyapu seluruh ruangan dengan mata mendelik, meski sedikit juling.
Ada yang langsung menyahuti "setuju", ada yang senyum mesem mengangguk-angguk, sementara ibu pemilik warung yang tadinya asyik di dapur muncul ke depan, dan tertawa berderai nonton Tukul yang dengan lincahnya mampu mengendalikan siapa saja tokoh yang dipanggilnya dalam acara (Bukan) Empat Mata.
Sepulang dari warung, saya bilang sama teman," masuk akal juga tadi bro. dari pada Rhoma Irama, Jokowi, Ical, Dahlan dan semua itu, cocok juga Tukul maunya yang dicapreskan".
Kawan saya yang sudah mengantuk, menguap beberapa kali, "Yah, tapi tamat nggak Tukul itu SMA. Kalau soal otak encer siapa sangkal. Tapi mau capres kan panjang jalannya. Mau caleg aja banyak tikungan, kalau lalai bisa masuk jurang...he he he...
Dalam hati saya hanya bergumam, negeri ini tak hanya butuh pamor, tapi juga humor. Bangsa ini sudah terlalu lama cemberut wajah keriput kulit leher berkerut diombang-ambing gelombang politik. Hasilnya? Orang tetap bersungut-sungut.
Ya, siapa tahu untuk pilpres 2019, apa salahnya sosok seperti Tukul dielu-elukan jadi capres. Negeri ini terlalu mengandalkan  pamor, rumor, glamor, seorang pemimpin, tapi masih minus humor. Ha-ha-ha, Tukul nanti malam pasti akan terpikir ke sana lima tahun mendatang. Siap-siaplah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H