(Info Buat PLN) Dibodohi Kontraktor, Warga Dusun Ini Gagal Nikmati Listrik
[caption id="attachment_339747" align="aligncenter" width="448" caption="Dusun Pandumaan di Tobasa, belum dialiri cahaya listrik.(Dok.pribadi)"][/caption]
Dusun Pandumaan, Desa Batu Manumpak, Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara, salah satu dusun yang belum tersentuh cahaya listrik. Selain listrik, cita-cita warga supaya jalan menuju dusun ini dibangun, juga susah terkabul. Pada hal, banyak pejabat, caleg, yang menjanjikan bakal memerhatikan kondisi desa-desa tertinggal, termasuk Pandumaan. Bahkan ketika calon bupati/wakil bupati Kasmin Simanjuntak/Liberty Pasaribu sebelum terpilih menduduki kursi empuknya, selalu mencanangkan janji, kalau terpilih jadi bupati, akan member prioritas perhatian terkait kesejahteraan rakyat. Termasuk memperjuangkan listrik masuk desa dan pembangunan infrastruktur.
“Begitulah rupanya manusia itu, setelah memperoleh apa yang dicita-citakan, datanglah penyakit lupa, kami tak tahu bagaimana itu,” kata Sipahutar, salah satu warga Pandumaan saat berbincang baru-baru ini. Seorang menantu dusun itu Marganda (Bapak Pandu) yang tinggal di Jakarta, mengeluhkan kondisi sejumlah desa yang masih terisolir karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap infrastruktur.
Warga desa ini telah lama bercita-cita agar bisa menonton televisi setelah listrik masuk. Pernah ada yang member listrik tenaga surya, lumayan mengurangi kegelapan. Tapi cahaya dari arus tenaga surya itu kurang memadai, terkesan remang-remang. Tak sanggup pula untuk membutuhi televisi. Suasana lengang di malam hari terasa makin mencekam. Anak-anak pun jarang bermain di halaman dusun, kecuali jika sesekali ada bulan purnama. Apa lagi sekeliling dusun dikelilingi pegunungan dan hutan lebat, wajar penduduk tak sembarangan keluar rumah apalagi keluar kampung.
Penantian terhadap datangnya cahaya listrik meskipun di tengah krisis listrik berkepanjangan di Sumatera Utara, tiba-tiba disodori harapan baru ketika tahun lalu ada nego dengan kontraktor perlistrikan bernama Willer Pasaribu, bisa mengurus listrik masuk Pandumaan. Yang penting penduduk ada uang tunai agar bisa cepat terealisasi. Tentu saja penduduk bersorak riang, langsung setuju. Sebanyak 47 KK di kampong itu mengumpulkan uang masing-masing Rp 2.150.000 per rumah tangga diserahkan kepada oknum kontraktor PLN itu tanpa keraguan sedikitpun waktu itu. Kalau dijumlahkan mencapai lebih kurang Rp 100 juta. Transaksi itu terjadi sekitar bulan Oktober 2013 yang lalu.
Setelah uang terkumpul, kontraktor pun konon melakukan tugasnya, mengurus. Dan memang selang beberapa saat, ada tanda keseriusan kontraktor menepati janjinya. Sejumlah tiang listrik dipasangi dari desa terdekat yang sudah dimasuki listrik, begitu juga kabel. Tak lama kemudian lampu jalan dinyalakan sebagai uji coba. Tentu saja penduduk Pandumaan bukan main gembiranya. Tapi itu hanya berkisar dua malam. Setelah itu lampu jalan tak pernah lagi menyala. Jangan lagi cerita tentang lampu untuk 47 rumah penduduk, yang hingga sekarang sudah jalan tujuh bulan tak kunjung ada tanda-tanda lampu listrik telah hadir.
Willer Pasaribu sang kontraktor yang tinggal di Parsoburan, ibukota Kecamatan Habinsaran, setiap ditanyakan penduduk, selalu menjawab, “sabar dulu, alat-alatnya belum ada”. Sampai tujuh bulan sudah memasuki setahun, tak ada lagi kabar berita tentang menyala tidaknya lampu listrik yang dijanjikan. Pada hal uangnya sudah dibayar tuntas, Rp 2.150.000 per rumah tangga. Sebagian warga makin uring-uringan, bahkan curiga mulai menyusup. Jangan-jangan kami sudah dibodohi, mentang-mentang kami Parhuta-huta (warga dusun) dianggap tak tahu apa-apa.
Pada hal para warga desa Pandumaan akhir tahun lalu sudah member kabar kepada sanak family dan anak-anak yang ada dirantau, bahwa pada tahun baru (2013) dusun Pandumaan sudah diterangi cahaya listrik. Dengan informasi menggembirakan itu, para anak di rantau pun pasti semangat untuk pulkam. Tapi kenyataannya? Warga sudah pontang-panting cari uang untuk melunasi pembayaran listrik sesuai kesepakatan dengan kontraktor, hingga sekarang tak ada tanda listrik itu akan menyala. Warga pun mulai pesimis. Kegembiraan di wajah mulai redup, seredup malam hari tak diterangi lampu.
Siapa yang salah? Kontraktor atau PLN atau warga desa ini? Atau mungkinkah kontraktor tega membodohi rakyat miskin di kampong terpencil itu untuk keuntungan pribadi? Atau PLN dengan dalih krisis listrik berdalih kesulitan alat speedometer? Ataukah penduduk itu yang memang terlalu polos karena tak mengerti apa-apa lalu semudah itu melakukan pembayaran tunai kepada kontraktor yang entah bagaimana kredibilitasnya itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H