[caption id="attachment_334199" align="alignnone" width="200" caption="Nikson Nababan wartawan Jakarta yang kini jadi bupati.(Foto:ist/arman)"][/caption]
Kalau dicari-cari, pasti sulit menemukan orang yang tak ingin jabatan penting dan terhormat. Apa lagi kalau jabatan itu gubernur atau bupati,misalnya. Ambisi sah-sah saja, karena hidup tanpa ambisi sama dengan daging tak bernyawa. Wartawan? Silahkan maju dengan minat dan ambisi masing-masing, karena wartawan (kata orang) adalah manusia intelektual. Pisahkan dulu dengan citra wartawan yang telah mengalami degradasi sejak terbukanya kebebasan yang amat sangat pascareformasi.
Dulu, Adam Malik itu wartawan idealis, konon ikut mendirikan Kantor Berita Antara. Lalu, Adam memasuki ranah politik, lalu dari sana meroket jadi wakil presiden. Ingat juga Bung Harmoko? Sosok wartawan yang pernah jadi Ketua PWI Pusat ini, dengan pintar-pintarnya masuk ke komunitas politik. Lalu, Soeharto yang pegang kekuasaan waktu itu, punya penilaian khusus mengorbitkan Harmoko – yang pintar silat lidah- jadi Menteri Penerangan. Jauh sebelumnya juga ada nama Burhanuddin M Diah, pendiri/pemilik koran Merdeka. Dia juga dipercaya jadi Menteri Penerangan. Jadi kalau disimak, wartawan itu memang hebat-tapi dengan catatan haruslah yang benar-benar wartawan, punya kompetensi jadi wartawan karena ada skill. Bukan orang yang hanya menyandang predikat wartawan, tapi sebenarnya salah jurusan. Saya tak begitu ingat lagi, siapa saja sosok wartawan yang berhasil menembus ruang gemerlap lainnya. Mungkin saja di satu daerah, atau mungkin jadi pengusaha sukses. Kalau yang jadi legislator (anggota DPR/DPRD), pasti ada di sana-sini.
Nah, di kampung saya,Tarutung, Sumatera Utara,juga wartawan itu bisa jadi orang hebat. Sudah lama ada wartawan yang mampu duduk manis di legislatif. Ada yang namanya Johnny Sihombing, Mujur Manalu, Dorgis Hutagalung, Lukman Manalu, Charles Simanungkalit, Asman Sihombing. Ada yang sudah berlalu (almarhum), ada yang kandas pada periode berikut, ada yang masih bersikukuh duduk seperti Charles Simanungkalit. Yang jadi catatan, mereka itu setidaknya berawal dari wartawan, atau pernah jadi wartawan.
Tapi, yang lebih hebat adalah ketika seorang yang dulu dikenal wartawan, kini menjadi orang nomor satu di kabupaten kampung saya itu. Dulu,tapi sudah lama sekali, pernah ada wartawan yang juga menjadi bupati, sekaligus ketua DPRD. Namanya Sia Marinus Simanjuntak, lebih populer disebut SM Simanjuntak (alm). Dia jadi bupati Kabupaten Tapanuli Bagian Utara tahun 1958-1963, dan juga dalam waktu hampir bersamaan menjadi Ketua DPRD yang lowong waktu itu. Sebelum jadi bupati, SM Simanjuntak adalah seorang wartawan dan menjadi redaktur di beberapa surat kabar pada masa krisis zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Bahkan konon almarhum pernah keluar masuk penjara karena berita kritik yang ditulisnya. Lalu, sekarang? Rupanya masih ada yang mengikuti jejak SM Simanjuntak, dari seorang wartawan dan politisi menjadi bupati. Adalah Nikson Nababan, putra kelahiran Siborongborong yang belakangan merantau dan sukses di negeri Betawi, terobsesi dengan kondisi kampung halamannya yang dinilai ketinggalan (dalam hal kemajuan) dibanding kabupaten lain. Sebagai wartawan, Nikson dulunya sering turun dari Jakarta memantau dan mereportase keadaan di kampung halamannya. Pada masa bupati dijabat Drs RE Nainggolan (1999-2004), Nikson juga pernah ikut turne ke pedesaan. Kalau tak salah, saya pernah ikut bersamanya mendampingi bupati ke desa. Nikson menampilkan sosok wartawan apa adanya. Memantau, mencermati, menulis, memotret apa yang dilihatnya, lalu menuangkannya dalam reportase di majalah yang diwakilinya.
Di mana ada kemauan, disitu ada jalan. Peribahasa lama itu jadi realita bagi Nikson Nababan. Masih lama sebelum pemilihan bupati digelar (2013), sudah ada isu bertiup dari media tentang niatnya untuk mencalonkan diri jadi bupati. Kebanyakan orang menganggap isu itu kicau burung. Tak begitu diperhitungkan, dibanding nama figure lainnya yang duluan mengemuka. Nama Nikson saat itu senyap dalam bursa politik pilkada. Yang popular itu justru nama Ratna Esther dan Pinondang Simanjuntak (mantan Wakil Wali Kota Jakarta Utara), dan Sanggam Hutapea. Ketiganya juga dari metropolitan Jakarta Raya.
Beberapa bulan menjelang verifikasi di KPU, nama Nikson Nababan yang dianggap sementara pihak sebagai “kuda hitam”, mulai menggema kembali, dan gemanya lebih nyaring. Bahkan belakangan, nama itu masuk dalam skala prioritas penilaian khalayak. Ketika nama Jokowi masuk deretan “top ranking” jelang pemilihan Gubernur DKI, agaknya seperti itulah nama Nikson berkibar di tengah masyarakat luas.” Inilah yang bakal menang, lihat saja nanti,” kata seorang warga di Tarutung memforecast pemilihan yang akan digelar Oktober 2013.
Pilkada pun digelar. Ada delapan pasang yang ditetapkan berhak maju sesuai verifikasi KPU. Dan hasilnya? Nikson kalah suara dibanding pasangan SAURMA. Tapi, pilkada itu tidak mulus. Ada gugatan ke MK, dan MK kemudian memutuskan harus putaran kedua. Dan di putaran kedua, hanya pasangan Nikson Nababan dan wakilnya Mauliate Simorangkir berhadapan dengan pasangan Saur Lumbantobing dan wakilnya Manerep Manalu. Proses menuju putaran kedua ini cukup rumit dan tegang. Pengamat memprediksi SAURMA masih memenangkan pemilihan. Tapi di sisi lain, pengamat yang lebih jeli memprediksi NIKMAT (Nikson/Mauliate) yang akan tampil sebagai “the winner”. Dan memang, itulah yang terjadi. Manusia hanya bercita-cita dan berambisi, tapi kehendak Tuhanlah yang akan jadi. Pasangan NIKMAT meraih suara mencengangkan kubu rivalnya, dengan perolehan lebih 52 persen. Hasil perhitungan suara itu awalnya tak diterima rival, sempat ada niat rival menggugat ke MK dengan alasan punya bukti terjadinya money politics. Tapi, niat itu dikandaskan bupati incumbent Torang Lumbantobing (Toluto), meminta agar niat itu dibatalkan. Toluto berprinsip, mengedepankan kepentingan lebih luas. Jangan aada perpecahan gara-gara pilkada. Toluto minta semua pihak terutama kubu SAURMA legowo saja menerima kekalahan dengan mengedepankan jiwa besar.
Begitulah kilas ceritanya. Nikson Nababan dan Mauliate Simorangkir, dilantik Gubernur Sumatera Utara pada 16 April 2014 di Tarutung dengan pengamanan ekstra ketat aparat kepolisian dan TNI. Ada tank jenis barracuda dilengkapi water canon di sana. Kota kecil Tarutung yang nyaman itu dibanjiri manusia, membuat jalan protocol macet beberapa jam.
Back to laptob, kata Tukul Arwana. Lalu, siapa sebenarnya Nikson Nababan yang datang dari Jakarta bisa menembus barikade persaingan merebut kursi number one di kabuparen Tapanuli Bagian Utara? Dia adalah putra kelahiran Siborongborong yang terkenal dengan kue “ombus-ombus” tanggal 5 Oktober 1972. Buah cinta dari pasangan St Drs Binton Nababan (alm) dan ibu Basaria Sihombing. Dari SD, SMP hingga SMA, dilaluinya di Siborongborong. Sekolah lebih tinggi dilalui dengan mulus di STPMD/APMD Yogyakarta tahun 1995. Bupati terpilih yang beralamat di Kebayoran Lama Jakarta Selatan ini meminang Sartika Simamora SE menjadi pasangan hidup. Kepada pasangan ini Tuhan mengaruniakan dua anak,masing-masing Abraham MP Nababan dan Jonathan Nababan.
Dan benarkah Nikson Nababan itu wartawan? Benar. Terlepas dari apakah Nikson belakangan jadi pengusaha sukses di Jakarta, tapi yang jelas bahwa adik dari anggota DPR-RI Sukur Nababan ini, dulunya wartawan Harian Media Indonesia Jakarta. Sebelumnya jadi redaktur dan kemudian pemimpin redaksi majalah khas Batak “Bona Ni Pinasa” Jakarta, pendiri Koran tabloid “Sumut News”, dan komisaris Harian Palapa Pos yang juga terbit di Jakarta.
Itulah Nikson Nababan, yang belum sebulan ini duduk di kursi bupati, menakhodai pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan di kampung kelahirannya. Masyarakat kini menanti, apa gerakan gebrakan bakal dilakukan bupati mantan wartawan ini dengan konsep perubahan yang digelindingkannya dengan wakilnya Drs Mauliate Simorangkir MSi. Keyakinan mayoritas warga menguat dengan sosok Mauliate yang jadi tandem Nikson pada perhelatan pilkada itu. Mauliate juga dipandang bukan figure sembarangan. Karena birokrat kelahiran Tarutung 24 Agustus 1954 ini adalah salah satu “think thank” yang dimiliki Tapanuli Utara. Calon doctor (S-3) Studi Kebijakan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini, diketahui sebagai seorang tenaga skill dengan wawasan internasional yang masih aktif di Lemhannas RI.Jabatan terakhir Mauliate di Lemhannas RI, adalah tenaga ahli Pengkaji Madyya Bidang Diplomasi sejak 2012.
Itulah sekilas profil pemimpin pemerintahan di kampung saya, yang lima tahun ke depan diharapkan masyarakat bisa memberi kontribusihebat mengakselerasi kemajuan, dengan mengoptimalkan segala daya upaya sesuai dengan konsep pembangunan yang menjadi frame dari program lima tahun hingga 2019.( Leonardo joentaknamo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H