Dekat malam dia di antar orang ramai ke dakian di celah gunung. Air mata tak sudi berhenti. Jerit tangis tak lagi beraturan. Melepas satu lagi terbang nyawa.
Riwayat selalu selesai di sebuah liang sempit pengap. Dingin tanah becek menyergap mengucap frasa pedih. Untuk dirinya yang telah kalah. Tinggalkan dunia, tinggalkan nestapa.Tak bergerak tak bernafas. Burung pergi tak hirau.
Bila kamu sudah tempati rumah baru, semua pulang tak lagi berpaling. Mungkin masih dikenang mungkin tidak. Jangan marah bila semua menutup mulut dan hidung dengan sehelai kain.Bukan salahmu, bukan salah siapa. Takdirmu kejam, kamu dikubur dalam senyap tanpa irama.
Tak siapa juga tahu, esok lusa ada lagi yang di antar ke sini. Temanmu bobo dan berbagi kisah.
Atau, mungkin aku, dia, entah siapa lagi, yang kini gentar jadi manusia. Sebab, pembunuh itu entah di mana ke mana tak terlihat mata.
Seseorang membaca berita dari dunia maya : pagi ini ada lagi yang rest in peace. Makin menakutkan, atau mengerikan.
Jangan sedih bila tak ramai handai mengantar. Jaga jarak sudah tertulis. Demi kelestarian yang lain, terus hidup.
Hari berikutnya suara lain berkabar duka. Yang mati bertambah satu. Makin banyak orang tutup pintu dan jendela. Makin ramai orang membasuh jemari
* Pembunuh itu masih di sana, di situ, di mana saja. Kejam tak punya hati. Kita harus bagaimana dan ke mana. Kita hanya bisa mengekang geliat minat menjaga raga dan asa tetap hidup.
Sssst...Pembunuh itu bernama laten: Korona !
Tarutung 9042020