Aku pernah bertelanjang membasuh tubuh dengan pasir di sungai ini. Terjun bebas dari titian hitam buatan Belanda. Main cipratan air keruh ketika mentari membungkuk di ufuk barat.Ribuan hari lampau aku juga merenda cinta di tanggul berumput selutut dan puluhan lintah kerdil nempel pada betis tak berbulu. Dan ketika usia merangkak membuatku terjaga pada kenangan, sungai yang membelah kotaku membuatku terpaku rindu: gemercik airmu tak lagi berirama romantik, pasir di dasar menipis berbaur lumpur.
Kini, kau bukan yang dekat dengan masa kanakku dulu. Di hulu sana pinggangmu semakin ramping tak memikat. Di hilir airmu terlukiskan makin jauh di bawah. Ada apa denganmu Sigeaon. Katakan, andai ada galau tak terucapkan.
Para jurnalis menjepretmu dengan gelengan kepala skeptisme. Nuansa khawatir mengancam asa. Akankah satu masa airmu sebening hujan tak berpasir. Akankah titian besi di atasmu tergoyahkan kelak tak terduga.
 Puluhan pasang mata mengawasimu dengan semangat peduli dan tanda tanya. Engkau begitu setia mengarus deras kurun waktu tak terhitung. Membuat kotaku berbingkai pesona berpadu perbukitan melingkari belanga Silindung. Tanpamu kotaku tak lagi spesial.Tanpamu kotaku  hilang deru romantisme.
Aek Sigeaon. Riwayatmu tidak berakhir. Tetapi wajahmu kusut hilang pesona. Ketika penambang pasirmu di hulu dan hilir sana hilang peduli masa depanmu.Â
Aek Sigeaon. Engkau adalah penggalan sejarah tak terukur.
( suatu senja segores kata di tepian sungai kenangan - Aek Sigeaon Tarutung Kota. Awal Februari 20)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H