Semalaman isteri nelayan itu bersama seorang anak kecilnya terombang-ambing di tengah laut Maluku Utara. Dia ingin membuktikan nasib manusia itu beda berbeda. Perempuan ikut melaut kenapa tidak. Jangan biarkan dapur tak lagi berasap. Yang tua boleh terkapar lapar, anak jangan tertunda bernafas.
Gelap malam dan angin sedingin salju tidak lagi menakutkan. Hantu laut tak kelihatan,mengapa kecut. Perempuan itu mengikatkan sehelai kain di kepala. Menatap laut sepi pada petang yang berangsur legam dijemput malam. Di kejauhan dua perahu kelihatan menjauh menikung ke balik sebuah pulau. Menghilang. Ia menarik nafas. Siap melawan bila rasa takut menggoda.
*
Mendung petang hari itu tak menyurutkan langkah. Tiga hari tiga malam suami pulang melaut berhampa tangan. Nasib sedang memburuk apa dikata. Suami pun terkapar berburuk raga diterpa angin jahat lautan Filipina.
-Biarkan aku yang melaut. Ijinkan!
Berbilang kali suami melarang. Kata "tidak" perempuan itu tak terbantahkan.Â
-Kamu sedang dirundung sial Pak. Ijinkan aku kali ini saja! Bapak berdoa di kamar ini agar niatku tak percuma. Aku berdoa di tengah laut bapak dijamah Tuhan sehat kembali, dan esok lusa melaut lagi.Â
Nelayan itu terbatuk setiap bicara. Ia menatap isterinya menyiapkan bekal air minum dan nasi dingin yang ditanak pagi hari dengan kayu bakar.
Dan perahu pun bergerak perlahan ke utara. Lelaki itu menatap dari pintu gubuk hingga titik terakhir perahu lenyap ditelan horison.
*Â
Di tengah laut perempuan itu rajin berdoa. Bibirnya komat-kamit melempar pancing ke laut kelam. Berikan aku ikan besar Tuhanku, agar rumah kami tak lagi sia-sia. Sembuhkan bapak anak-anak esok melaut lagi. Kami tak mendamba kaya. Kami hanya butuh makan secukupnya. Laut adalah dunia kami berjuang selamanya, sebelum tiba saatnya perjuangan terhenti hilang daya...