Dia tanya,siapa lagi yang lewat. Di jalan setapak berumput selutut. Kemarin kalian melintas juga di sini. Rombongan orang meratap menumpah duka. Mengantar anak muda putus riwayat. Mati pagi,mati belia.
*
Satu lagi pergi, berapa menyusul esok. Tak siapa pun pintar menduga. Jarak terang dan malam teramat tipis. Panggilan tak diminta tetaplah tiba. Perlukah berkeras menampik melawan. Ketika mata terbeliak tak sudi,nafas tercabut tak kembali. Kemarin masih tertawa sore sudah diratap.
*
Lelaki tua menatap redup di balik jendela. Melihat orang sakit ditandu diarak pada gerimis petang. Si tua lumpuh meradang,dapat menatap mendengar tidak. "Matiku separuh,kuharap sepenuh". Tak terlalu tuakah diri ini mengharap asa bertahun tiada geliat badan. Yang muda mati,yang tua tak juga mengikut.
Hidup sering tak adil menimbang arti. Yang muda berlalu terburu, yang tua ternanti terjaga.
*
Tuhanku! Letih raga memikul hidup terus mengerang. Ku tak rela melangkah mati melampaui takdir. Kunanti sebut namaku, kutunggu sebut jiwaku.
Aku sudah lama siap mengembalikan hidup pada yang punya. Aku ingin diarak di jalan setapak. Menuju mati,hidup selama.Â
( Medan 20 Juni 2017. Dari antologi puisiku " Lampu Merah" )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H