Mengapa caleg secara nasional harus gunakan uang mencari dukungan rakyat? Karena tidak pede rakyat akan memilihnya. Dan mengapa tidak pede? Karena sadar kepercayaan rakyat terhadap wakil rakyat telah anjlok ke titik nadir.
Rekan saya, seorang pengamat politik amatir mencetuskan analisis gampang-gampangan itu pada sore kemarin dua hari sebelum rakyat dapat undangan yang dinamai C-6 ke TPS. Rekan saya itu pernah batal jadi caleg, setelah melihat permainan di lapangan sudah marak memakai amunisi rupiah. Akhirnya rekan saya menyerah. "Saya menyerah saja, dari pada saya harus menjual tanah ladang untuk menyuap rakyat, lebih baik mundur sebelum saya menyesal karena gagal mewujudkan impian menjadi legislator." Dari perkataan rekan saya itu, jelas bahwa dia tak pede bisa meraih suara banyak tanpa menyuap.
Mungkin mindset seperti itu menjadi gambaran umum kebanyakan mindset calon legislator sekarang ini. Pengalaman itu sudah dimiliki caleg incumbent, dan itu mau tak mau terimbas pada caleg pendatang baru. Rekan saya yang batal caleg tadi bercerita, ia diberi wejangan oleh caleg yang sudah dua kali menikmati empuknya kursi dewan. " Selain sudah punya duit cukup sebagai amunisi untuk bergerilya menjaring calon pemilih, kita juga harus rajin mengatur tampilan sesempurna mungkin, menyusun kata-kata terseleksi dan meyakinkan, atau bila perlu mengunjungi rumah kerabat dengan menjinjing roti kaleng atau buah-buahan, bagaimana supaya dapat simpati dan kepercayaan."
Masih mengutip caleg batal tadi, caleg berpengalaman dua kali jadi legislator itu juga mengingatkan pentingnya selalu ingat ungkapan leluhur (Batak), bahwa untuk menggapai kehormatan harus digalang dengan kebaikan memberi. Ungkapan itu memang ada, bunyinya " panggalangon do mula ni harajaon". Itu sering terdengar di tengah masyarakat.
Karena rekan saya itu ternyata tak punya nyali dan kebetulan tipe orang pelit "membuang" ia bersikap bijak mengundurkan niat ikut mencalonkan diri. Dia menemani caleg berpengalaman itu mondar-mandir ke pelosok desa, dan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana caleg berpengalaman itu memboroskan uangnya membentuk simpati warga. Terkadang harus duduk dua jam di satu kedai, ngalor ngidul cerita kesana kemari, dan sebelum pamit bayar dulu semua minuman dan rokok orang-orang yang ada di sana. Dengan mobil Innova yang memang sudah milik sendiri, caleg berpengalaman itu melambaikan tangannya sepanjang jalan ketika bertemu rakyat, seraya berjanji masih datang lagi jelang hari H.
"Kamu lihat tadi kan, masih permulaan sudah habis sekian-sekian. Belum lagi nanti yang namanya uang resmi yang akan dibagi tim kita ke berbagai tempat di daerah pemilihan kita," begitu ucap caleg berpengalaman kepada caleg batal tadi.
Saya hanya mengangguk-angguk sambil senyum mendengar cuplikan rekan yang sebenarnya bukan rekaan saya. Lalu saya menyimpulkan diam-diam, bahwa rasa tak pede menjadi faktor utama mengapa banyak caleg terpaksa menabur rupiah dan senyum dibuat-buat dengan harapan bisa menuai senang di kemudian hari setelah lolos untuk menjadi anggota dewan terhormat.
Dalam perenungan saya, ada simpul sederhana saya ambil, begini: Cuplikan kisah-kisah caleg terdahulu dan terutama di era pasca reformasi, tentang memberi supaya diberi, berdampak luas menjadi pembelajaran ke masa-masa berikutnya terutama bagi caleg pendatang baru. Mungkin banyak caleg tak pede bisa menang tanpa memberi, karena melihat faktanya di lapangan memang demikian. Dan untuk bisa ikut jadi aktor pemain seperti caleg berpengalaman tadi, diperlukan nyali besar. Tanpa itu silahkan batalkan niat ikut-ikutan maju, dari pada nanti kalah jadi cemohan warga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H