[caption id="attachment_334675" align="aligncenter" width="448" caption="Pak Dewi menunjukkan sangkar kesayangan yang selalu dibawanya berburu perkutut ke hutan sepi.(Foto: Kompasianer/penulis)"][/caption]
Rambut manusia boleh sama hitam, tapi hobi pasti beda-beda. Ada yang hobinya biasa-biasa saja, ada pula yang hobinya luar biasa. Membaca atau menulis misalnya, mungkin hobinya para sahabat kompasianer, makanya mau meluangkan waktu mengirim tulisan ke Kompasiana. Ragam etnik di Indonesia, ragam pula kebiasaan dan hobi. Orang Batak pun punya beragam hobi. Ada yang hobi memancing ikan di sungai dan kolam, tahan nongkrong di pinggiran sungai, danau, laut, berjam-jam sabar menunggu pancingnya makan korban. Ada yang hobi nongkrong di kedai tuak bisa sampai matahari terbenam baru ingat pulang ke rumah. Lain lagi yang hobi main judi, olah raga, sampaiberburu binatang buas. Tapi hobi yang saya tulis ini mungkin tak lagi sekadar hobi, mungkin lebih dekat pada konotasi “mania”. Yakni, berburu burung perkutut dengan cara marpikket (menjerat burung dengan menggunakan sangkar khusus). Biasanya, burung yang akan dijerat adalah jenis anduhur (tekukur/perkutut).
Kedua jenis burung ini yang sering dikerangkeng manusia sebagai peliharaan, memang masih banyak beterbangan dimana-mana, di Pulau Jawa, Kalimantan,Papua, Sumatera. Meski mungkin populasinya sudah berkurang sejak gencarnya penebangan hutan di sana-sini. Tapi, banyak juru pikket (pemburu anduhur) harus siap bergerilya jauh ke kawasan pedalaman. Karena, jenis anduhur yang sebutannya di orang Batak anduhur jingar (unggul), biasanya tak mau dekat-dekat ke zona perkotaan. Para tekukur dan perkutut bisa-bisa sudah mengalami phobia dekat perkotaan, takut kena jerat.
“ Biasanya di kawasan hutan sunyi yang banyak burung tekukur dan perkutut, atau di arah pegunungan, perladangan, dan perkampungan pedalaman,” kata Hotman Silitonga yang akrab dipanggil Pak Dewi), warga Desa Parbaju, Tarutung, Sumatera Utara salah satu sosok yang gemar berburu anduhur. Bahkan, bagi Hotman Silitonga (62), perkutut di kawasan Tanah Batak punya keistimewaan, dengan suaranya yang spesifik. Irama suara perkutut Batak, kata Hotman sangat bagus didengar,apa lagi kalau burung itu sudah “jadi”. Kata “jadi” perihal tekukur/perkutut punya artian, bahwa burung itu sudah piawai, tak perlu lagi dilatih. Timbre suara perkutut atau tekukur yang sudah “jadi” didefinisikan sebagai burung yang sudah memenuhi syarat digiring ke gelanggang kontes.
Lalu, bagaimana caranya menjerat anduhur atau perkutut. Ada sangkar khusus yang disebut piket dengan peralatan khusus untuk menjerat dipasang di sekitar sangkar. Saat berburu, seekor tekukur yang sudah jago ditaruh di dalam sebagai pemancing. Sangkar berisi jagoan kemudian diletakkan di satu tempat, yang sudah dideteksi sebagai tempat berkeliaran anduhur-anduhur liar. Burung tekukur/perkutut pemancing dalam sangkar akan bersuara menantang burung sejenis yang ada di sekitarnya.Manakalatekukur liar memperdengarkan suara di seputaran hutan, biasanya mereka segera mendekat. Terjadilah tantang menantang lewat suara.
Sang penjerat atau pemburu, harus siap tiarap sekian lama, menunggu sangkar jebakan didatangi “burung tamu”. “ Sering kami bersama teman harus tiarap berjam-jam lamanya menunggu sampai tantangan burung penjebak yang bawa didengar burung sejenis di hutan, Terkadang atau tak jarang pula kalau tak mujur, saya pulang hampa tangan tak membawa hasil,” katanya terkekeh saat berbincang dengan kompasianer.
Menurut pengalaman Pak Dewi, kawasan yang menjadi habitat tekukur jago, adalah seputaran Kecamatan Parmonangan, Pagaran, Pangaribuan, Garoga, Sipahutar, (kawasan Tapanuli Bagian Utara) di mana suasananya belum ingar-bingar seperti di perkotaan. Di kawasan Kabupaten Simalungun (Siantar) di mana begitu luas perkebunan dan perladangan sepi, para pemburu burung perkutut juga banyak bertebaran di berbagai pelosok. Salah satunya pernah bercerita pada saya, Rahidin Sikumbang orang Padang yang sudah lama merantau ke Simalungun. Katanya, ai sudah dua puluh tahun hobi berburu burung tekukur (anduhur). Terkadang bersama teman pergi mandah ke wilayah Samosir pinggiran Danau Toba, sampai bermalam di sana hanya untuk berburu. Apa sih kepuasaan dari berburu sampai meninggalkan rumah berhari-hari? Terkekeh, Rahidin mengaku adanya kenikmatan tersendiri.” Kalau sangkar berhasil menjerat seekor saja, rasanya seperti ketiban rejeki besar seperti dapat hadiah lotre.”
Pak Dewi dalam usia makin tua sulit meninggalkan hobinya berburu anduhur. Ia memang tak sendirian punya hobi marpikket. Di Tapanuli banyak rekan “seangkatannya”. Sebut misalnya Irra Sitanggang, Bejo Simanjuntak (alm), Kiwa (juga sudah almarhum), dan banyak lainnya. Di Parmonangan ada orang bernama Purba yang justru sudah kategori perkutut maniak. Satu ketika, ia bilang pada kompasianer, Bayangkan , kalau sangkar sudah dapat mangsa, lebih dari makan kenyang, katanya terbahak. Bah!
Berburu tekukur dan perkutut, baginya mengandung filosofi pula. Melatih kesabaran dan nyali. Kalau tak penyabar, janganlah ikut kami,karena harus tahan berjam-jam tiarap mengintip dan menunggu kapan burung yang ditantang jagoan dalam sangkar akan muncul. Tak selalu ada hasil memang, tapi ini perjuangan.
Dan nyali? Ya, ini so pasti. Zona perburuan yang dimasuki harus kawasan hutan yang sunyi, perladangan di mana banyak pepohonan dan suasana lengang. Tak jarang terdengar suara binatang buas. Atau tantangan lain saat tiarap di semak-semak ada ulat berbisa, pacet, atau jangan-jangan ular. “ Berarti bawa senjata juga untuk pertahanan/” tanya kompasianer yang hobi pada hal-hal unik. Pak Dewi alias Hotman Silitonga membenarkan.” Ya di antara perlengkapan kami juga bawa pisau atau parang, selain bekal makanan. Terkadang juga obat anti nyamuk, mengantisipasi badan jadi bulan-bulanan nyamuk sialan.” Wah, seru bangat! (Leonardo joentaknamo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H