Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pilpres Itu Selalu Diwarnai Perang Pendapat

14 Juni 2014   23:22 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:43 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendapat dan beda pendapat adalah esensi demokrasi. Tanpa ada perbedaan pikiran dan pendapat, tidak ada demokrasi. Dalam berdemokrasi, sah-sah saja jika ada  ketidakcocokan atau ketidaksetujuan terhadap pendapat orang lain. Tapi, sebaliknya pemaksaan pendapat orang lain hendaknya sejalan dengan pendapat kita, tak bisa disebut demokrasi. Jangankan dalam pemilihan presiden (pilpres), dalam pemilihan kepala desa (pilkades) pun selalu ada "perang" pendapat. Mana pendapat yang paling banyak mengatakan A adalah hasilnya, maka biasanya A dianggap yang benar. Suara mayoritas adalah pemenang. Seorang kepala desa atau presiden yang terpilih, karena faktor suara mayoritas tadi.

Seorang pengamat pernah mengatakan, sejumlah pendapat yang dipuja-puji pada pagi hari pada hal pendapat itu tak dibenarkannya pada malam hari. Namun yang jelas, pendapat terakhirlah yang dianggap benar. Artinya di sini, pendapat juga bisa berubah. Pendapat bukan sesuatu barang mati yang dipaku tanpa bisa dicabut kembali. Berubah dalam arti, menuju yang diputuskan adalah yang terbaik. Hari ini saya boleh memuji-muji Prabowo sebagai calon presiden yang paling ideal, tapi itu bisa berubah kalau kemudian ada bisikan nurani atau insting saya mengatakan: bukan, bukan Prabowo, tetapi Joko Widodo lah yang ideal. Di sini, ada proses yang memungkinkan terjadinya perubahan. Tapi perubahan itu terjadi,bukan karena dimasuki iming-iming atau hasutan dari kanan kiri, melainkan karena secara prinsip memang muncul pertimbangan khusus atau komparasi (perbandingan) antara pendapat yang muncul kemarin dengan pendapat baru yang muncul hari ini. Itu berbeda dengan terminologi "PLIN-PLAN". Orang yang plin-plan dalam berpendapat, biasanya tidak punya prinsip dan komitmen. Orang yang plin-plan adalah orang yang menunggu kemana arah angin paling kuat berhembus, maka kesitulah dia condong. Dalam benua politik, orang plin-plan itu tak terlalu susah ditemukan. Hari-hari terakhir menjelang penetapan capres/cawapres 2014, mungkin banyak di antara kita bisa mencium fenomena plintat-plintut para elit politik. Misalnya awalnya ke sana, belakangan ke sini. Ya, biasa. Maklum sendirilah. Karena kata para ahli, kepentingan pribadi selalu mendominasi dalam belantara politik.

Gonjang-ganjing prokontra seputar capres Prabowo dan Jokowi terasa cukup membakar akhir-akhir ini. Makin dekat hari H suhu makin panas. Kalau suhu politik diukur dengan termometer medis, mungkin sudah melampaui panas maksimal. Karena apa. Tak lain karena soal beda pendapat tadi. Jangankan di lapisan ring satu kedua kubu, sedangkan di kalangan rakyat pun saat ini pasti sudah berkecamuk simpang siur pendapat. Jangan-jangan sudah ada yang komunikasi pertemanan putus atau mengalami psy war (perang syaraf). Pada pilkada bupati saja sudah banyak fakta tentang retaknya hubungan-hubungan kekerabatan, persahabatan, hingga solidaritas yang tersungkur.

Itulah kelemahan berdemokrasi, jika bisa disebut kelemahan. Sebab, kita sering lupa subtansi demokrasi, akhirnya kita maunya otoriter mau memaksakan pendapat kita hendaknya diamini orang lain. Hal itu terkesan seolah sudah alami atau manusiawi. Saya jadi teringat pada satu kalimat dari seorang filsuf yang kurang terkenal, Thomas A Kempis, menulis " We are all best affected to them who are the same opinion". Artinya kira-kira, kita selalu merasa senang kepada mereka yang sependapat dengan kita.

Fakta lainnya bisa kita simak. Kalau misalnya saya sebagai kompasianer menulis bahwa Prabowo itu yang paling pas dan dibutuhkan memimpin Indonesia sekarang ini, mungkin kompasianer lain yang pro Jokowi akan kurang senang pada saya. Jangan-jangan mencap saya tidak sebarisan dengan dia dalam konteks pilpres ini. Begitu sebaliknya, ketika saya menulis suatu tinjauan empiris tentang Jokowi seraya mencuatkan aspek-aspek kebaikannya, rekan yang condong Prabowo juga bisa tidak bersimpati membaca tulisan saya.

Logikanya, apakah mungkin bisa menyamakan atau mensinkronkan pendapat berjuta-juta manusia menjadi satu pendapat atau kesatuan pandang untuk membenarkan sesuatu? Peribahasa lama mengatakan, rambut (manusia) sama hitam, tapi isi pikiran berbeda-beda. Bahkan Kompasiana sebagai media warga yang begitu derasnya menurunkan multi pendapat terkait pilpres, mustahil bisa memadukan pendapat semua kompasianer agar menulis dukungan kepada Prabowo atau Jokowi. Sebagai wadah yang menampung dan mengalirkan ribuan isi kepala berupa pendapat, tanggapan, tinjauan, telusur empiris yang berbeda satu sama lain, Kompasiana dalam hal ini tidak akan mengappeal kompasianer untuk memosisikan diri pada salah satu capres, meskipun di lingkungan admin siapa tahu mungkin ada "penggarisan" terkait hal itu.

Dus karena itu saya membenarkan tulisan salah satu rekan kompasianer yang tayang pada Highlight hari ini, kalau ada yang menganggap Kompasiana itu lebih condong ke salah satu capres (jokowi misalnya), itu pasti anggapan liar yang direkayasa. Benar sekali, yang pro Jokowi dan pro Prabowo itu adalah para kompasianer, yang dengan ragam pendapat menulis sebebas-bebasnya apa yang menurutnya paling benar tentang salah satu capres. Dan itu sah-sah saja. Namanya media warga, sepanjang tidak melanggar ketentuan dasar yang sudah dipatok admin, tulisan itu tetap bertengger dalam blog kompasianer.

Jadi, menurut pendapat saya itulah: Pilpres itu dari dulu selalu diwarnai beda pendapat. Tapi pendapat tak mungkin bisa dipadukan menjadi satu kesatuan pendapat, karena kalaupun itu dipaksakan (meski itu mustahil juga), maka itu bukanlah pendapat yang murni. Itu melanggar kedaulatan rakyat seperti selalu dipetuahkan Bung Karno.  Jadi intinya, biarkan sajalah pendapat itu berperang, tapi jangan manusianya. Pendapat yang baik biasanya seperti air yang mengalir dari gunung ke lembah, akan menemukan kemana dia bermuara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun