Novel Leonardo Jt (24)
Waktu bergerak kadang tak terasa. Empat hari di Tuktuk bagi Nika rasanya masih sehari. Pada hari ketiga dan keempat, Nika menikmati hari-harinya dengan perasaan nyaman. Nika bersyukurkedatangannya ke daerah wisata yang indah itu, ternyata tidak membenamkan diri dalam kesendirian. Nika bersyukur punya seorang teman sebaik Riko. Anak muda itu menumbuhkan rasa percaya ketika awalnya merasa was-was. Semua orang yang kenal Riko mengatakan Riko orang baik, dan Nika telah membuktikannya selama beberapa hari bersama dia. Nika tak menganggap Riko sebatas guide amatir seperti rencana awal. Lebih dari itu, Nika merasakan nuansa pertemanan yang menyenangkan hati.
Setidaknya, keberadaan Nika di Tuktuk bisa menjauhkan pikirannya dari bayangan Gito. Melupakan kepahitan yang dirasakannya di Jakarta. Menghapus Gito dari memori cintanya.
Namun ketenteraman itu kadang terusik manakala Tante Rosa menelpon dari Medan, merefleksikan kekhawatiran. Bertanya kabar, tapi aromanya kecemasan. Nika harus pintar-pintar menenangkan Tante Rosa. Atau terkadang saat mamanya menelpon dari Jakarta. Nika pun harus pintar bersandiwara, seolah dirinya benar ada di rumah Tante Rosa. “Yang penting papa dan mama sehat aja kan. Apa masih ada lagi orangnya Gito yang buat ulah ke rumah kita?” tanya Nika. Ia merasa lega karena mamanya bilang semuanya aman. Papanya punya banyak kenalan di kantor kepolisian bahkan juga di kemiliteran. Papa Nika telah minta perlindungan, sehingga rumahnya mendapat pengawasan tersembunyi. Senangnya Nika mendengar hal itu.
Maka, Nika pun fokus dengan wisatanya. Sungguh mengasyikkan. Nika merasa dirinya menyatu dengan alam sekitar. Bukan hanya menikmati panorama danau, pegunungan, perahu-perahu nelayan, dan burung-burung berseliweran pada petang hari. Nika juga terkesan menyaksikan suguhan kehidupan warga. Terenyuh melihat petani yang bekerja giat di sawah ladang, dari pagi hingga petang. Kucuran peluh ibu-ibu memanggul cangkul di siang hari yang terik. Pulangnya ke rumah saat matahari sudah “mardomu na holom tu na tiur” (maghrib). Pergeseran siklus waktu, saat senja berlalu, menyongsong gulita malam.
Nika juga terpana melihat anak-anak beriringan ramai-ramai di jalanan menuju sekolah. Begitu ceria dan bersemangat mengejar ilmu. Suasananya berubah, ketika mencermati anak sekolahan pulang lepas tengah hari. Wajah-wajah yang letih, setelah belajar setengah hari, mungkin sudah lapar dan capek menyeret kaki pulang ke rumah.
Nika termenung membanding-bandingkan dengan kehidupan sebagian warga di negeri ini, yang bergelimang kehidupan mewah berlebih. Di Jakarta, Nika tinggal di lingkungan di mana manusianya hidup dalam kelimpahan di rumah-rumah mewah dengan nuansa glamouritas modern. Di sisi lain banyak orang yang untuk memenuhi makan dua kali sehari, sudah sulit. Nika tak menyesali kehidupan glamor di lingkungan tinggalnya. Ia hanya suka tertegun manakala melihat banyaknya rakyat kecil yang seumur-umur tak pernah merasakan atau mengalami betapa hidup ini jadi indah ketika hidup tercukupi dengan aneka kelezatan fisik dan rohani.
Papa dan mama Nika pernah tercengang, ketika Nika pernah menyatakan keinginannnya untuk mendirikan rumah panti untuk orang-orang miskin yang tersungkur dalam beringasnya kehdupan di Jakarta. Papanya mendukung ide itu, tapi mamanya menolak keras. “Gagasan tak populer, buang-buang duit dan waktu saja,” protes mamanya ketika papa Nika bilang setuju.
Keanehan pribadi Nika sudah membayang sejak kecil. Satu dari keanehan itu, Nika cenderung memilih kesederhanaan gaya tanpa harus dijejali aneka asesoris mahal yang bisa disanggupi papanya. Di dinding kamar tidurnya, ada grafiti (corat-coret) yang mengindikasikan sikap totalnya tentang hidup. “Hidup sederhana, berpikir sederhana, bertindak sederhana. Itu yang membebaskan kita dari gurita ambisi yang melukai orang lain.”
Keanehan itu, kebersahajaanitu, tak luput dari pengamatan Riko sejak bersamagadis itu di Tuktuk. Suatu pagi, di hari ke lima, Nika mencegat sejumlah anak sekolah di tengah jalan. Nika mengajak mereka ngobrol beberapa saat. Bertanya ini dan itu. Anak sekolahan itu tampak senang diajak bercengkerama seorang gadis cantik.
“Kalau tadi Monang bercita-cita jadi penerbang, lalu kamu Duma, apa pula cita-citamu.” Kata Nika pada murid SD kelas 4. Riko hanya berdiri di kejauhan mengamati tingkah gadis itu.
Anak perempuan yang menyebut namanya Duma tersipu malu. Tapi, akhirnya ia menjawab dengan suara pelan,” Aku mau jadi seorang bidan”. Lalu Nika bertanya pada anak lainnya, namanya Hasudungan.”Kalau Sudung, kamu nanti mau jadi apa”. Hasudungan tampak mengepalkan tangannya, blak-blakan menyahut,” Aku mau jadi petinju seperti si Tison.” Anak lainnya tertawa riuh mendengarnya. Nika juga tertawa terpingkal.
Usai bincang-bincang itu, Nika mengambil beberapa helai uang tukaran Rp 20 ribu dari dompet kecilnya. Setiap anak yang jumlahnya 14 orang itu dibagikannya masing-masing satu lembar. Anak-anak itu bersorak gembira. “Mauliate tante, mauliate tante,” kata anak-anak itu seraya berlarian di jalanan.
Nika berkata pada Riko,”Mereka anak-anak yang penuh semangat. Saya suka melihat anak yang bersemangat mengejar ilmu.”
Riko mengangguk.”Begitulah prinsip kami orang Batak. Selagi orang tua mau dan mampu, anak-anak harus bersekolah. Dari semua yang penting dalam kehidupan kami, ada yang terpenting lagi, yakni menyekolahkan anak setinggi-tingginya. Semangat itu ada dalam lagu yang berjudul Anakhonhi do hamoraon di ahu. Yang maknanya, anak merupakan harta paling berharga,” kata Riko menggambarkan filosofi itu.
Nika membenarkan ucapan Riko.” Ya aku tahu itu Rik. Hal itu terbukti dari sukses banyak orang Batak di mana-mana kan. Bangsa ini memiliki orang-orang sukses berasal dari Tapanuli. Di semua lapisan profesi selalu ada yang berhasil, apakah itu jenderal, ilmuwan, dokter, pengacara, pengusaha, pemusik, penyanyi, semuanya ada. Saya salut itu.”
Keduanya meneruskan perjalanan santai melintasi area persawahan di kiri kanan jalan, rumah-rumah penduduk, perladangan. Nika masih menolak saat Riko menawarkan naik sepeda motor, untuk efisiensi energi. “Apa tak capek kalau jalan kaki terus seperti ini?” Nika tersenyum, lalu menggeleng kepala.” Masih suka aja jalan-jalan begini, sekalian sport. Atau jangan-jangan Bang Riko yang sudah bosan?”
Riko kelabakan dengan anggapan yang di luar dugaannya.” Ah, tidak, bukan itu maksud saya, tapi hanya berpikir kalau nanti Nika terlalu capek jalan kaki.” Riko juga sudah menyebut nama Nika tanpa embel-embel lain seperti awal-awal bertemu.
Nika tertawa kecil.” Aku hanya canda aja Rik, oke deh besok besok kita boleh pakai sepeda motor, kalau ada yang rentalan boleh juga,atau kita pakai motormu aja boleh?”
Riko mengira, mereka berdua menggunakan dua motor untuk masing-masing. Di Tuktuk mudah mendapatkan sepeda motor rentalan. Tapi Nika inginkan satu motor saja untuk berdua, berarti berboncengan?
Nika seperti membaca pikiran Riko. Ia berkata,” Apa ada yang salah kalau Rik bonceng aku jalan-jalan, atau jangan-jangan tak sesuai dengan adat di sini?”
Riko cepat sekali menyahuti,” Bukan, bukan begitu Nik. Ini kan daerah wisata, sepanjang dalam koridor tak menyalahi susila, gak apa-apa. Maksud saya...”
Nika tersenyum menatap Riko.” Hmmm, jangan-jangan kamu merasa segan atau canggunh kalau kita boncengan?’
Riko merasa di skak langsung. Ia membantahnya.” Malu, kenapa harus malu, nggaklah...”
“Kalau begitu kenapa harus pakai dua motor kalau bisa hanya satu, kan lebih praktis dan efisien,” Nika langsung menyimpulkan.
“Baiklah, kalau begitu.” Kata Riko mantap.
“Besok?” Nika mengerling.
“Besok pun oke”.
“Ke mana? Gimanadengan kuburan tua yang kamu ceritakan tempo hari?”
Riko mengangguk.” Ya ke sana pun jadilah, dan dari sana kita bisa ke pantai pasir putih Parbaba.”
Nika bertanya,” Pantai pasir putih Parbaba? Di mana pula itu, kamu belum ceritakan itu.”
Riko tersenyum,menatap lesung pipi Nika yang bermain manja kala tertawa.” Nanti lihat langsung saja, pokoknya di sana bagus ombaknya, dan kadang ramai pengunjung.”
Keduanya melangkah menuju pulang ke hotel. Sebelum berpisah, Nika berkata,” kalau malam terasa sepi tak ada teman, apa Riko mau juga temani aku santai menjelang tidur. Kudengar, bang Riko bisa main gitar, sekalian bawa dong gitarnya...”
Riko berkata merendah,” Ah siapa pula bilang aku bisa main gitar, hanya sekedar saja kok, belum ada apa-apanya. Tapi tak apa, nanti boleh juga sekedar menghibur.”
Nika tertawa senang.” Deal ya, kutunggu di taman belakang nanti.. hari baik Rik...” Manager hotel dan room boy memperhatikan kedua muda-mudi itu hampir tak berkedip. “Pasangan yang serasi andaikan saja takdir menyatukan,” pikir manager.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H