Resto tiba-tiba dibalut sepi. Hanya debur ombak mengempas dinding resto sesekali memecah suasana. Beberapa pengunjung sudah pergi ketika melihat mendung mengganti warna langit yang tadinya kebiruan menjadi kelabu.
Obrolan tentang pribadi masing-masing sudah tuntas dalam beberapa jam tak terasakan. Ada tanda-tanda hujan mau turun, tapi dari tadi masih menggelantung di angkasa.
" Gimana Nik, apa kita sudah bisa berangkat," kata Riko, sambil melihat jam tangan.
"Ntar lagi bang, aku suka perubahan cuaca sore seperti ini, lihat awan bergulung-gulung seakan ada badai dari benua lain," Nika menatap terpana memandang arah pegunungan.
BUKAN jawaban itu yang perlu bagi Riko, tapi munculnya lagi panggilan "bang" tadi. Tak selalu sebutan itu terucap, tapi saat itu keluar dari mulut mungil yang indah itu, terasa lain di lubuk hati Riko. Ada nuansa intimitas yang menyejukkan.
"Ya, dik Nika, aku juga suka," kata Riko. Dan Nika mengerling, seraya senyum.
Riko senang melihat wajah itu ceria lagi.
"Bang Riko senang lihat aku ceria lagi kan?"
"So,pasti Nik, tentu senang."
"Betul?"
"Ya betul Nik. Masak aku senang dik Nika galau terus."
"Kalau begitu,bang Rik mau kalau aku minta sesuatu?"
Riko terkesiap, sedikit was-was. Mau minta apa gerangan gadis metro ini.
"Kalau permintaanmu bisa kupenuhi pasti aku penuhi, aku usahakan. Tapi apa yang bisa kubantu Nik."
Nika kembali tersenyum, senyum merefleksikan kemanja-manjaan seperti pernah tampak di Tuktuk.
"Gak sulit kok, bang Rik sudah pernah memenuhinya di Tuktuk." Senyum itu masih menghias bibirnya.
Riko menatap Nika tak mengerti. Sulit menebak.
"Jangan buat aku bingung ah,Nik," Riko mulai keluarkan lagi nada manja-manja mengimbangi.
"Tak sulit kok  bang, lihat tuh," Nika menoleh melihat ke kanan.
Riko mengikuti pandang mata gadis itu. Apa ya di sana. Tak ada siapa-siapa.
"Lihat apa Nik, gak ada apa-apa," Tukas Riko merasa terpedaya.
Nika tertawa geli, nyaris terpingkal-pingkal kalau tak membekap mulut dengan tangan. "Begitu besarnya masak bang Riko tak liat, ah yang benar."
Sekali lagi Riko melihat ke arah ke mana mata Nika memandang. Di ruang tengah resto ada dua tiang besar, dan di salah satu tiang hanya ada sebuah gitar.
"Maksudnya Nik..." Riko menebak-nebak.
"Ya, maksudnya ya itu bang," sebutan abang itu kayaknya jadi permanen sejak tadi.
"Kalau boleh aku menebak, maksud dik Nika, gitarnya?" Riko bertanya tapi masih agak ragu bahkan sedikit linglung.
DAN Nika mengangguk, masih tertawa geli. Pada saat itu sirna sudah rona galau yang tadi. Riko pun merasa senang.
"Buat orang bingung aja, jadi kamu minta aku pegang gitar itu." Riko menunjuk gitar tergantung di tiang resto.
Nika berkata, lirih," Bukan cuma megang dong bang, kalau cuma pegang gitar aku juga bisa."
"Jadi kumainkan gitarnya?"Riko berlagak pilon.
"Bukan hanya memainkan," tukas Nika.
"Lantas..?
" Ya, apa pasangan main gitar, itu maksud aku bang." Nika tertawa lagi.
"Pasangan gitar, ya tangan dong." kata Riko masih berlagak pilon.
"Ah, abang ini bego apa belagak bego," Mulut Nika sedikit dicemberutkan. Aksen Betawi keluar.
"Sungguh Nik, aku gak ngerti maksudnya. Yang kutau pasangan gita, ya tangan yang megang."
"Nyanyi, itu dong pasangan yang pas." kata Nika akhirnya.
"Oooh ituuuu..." suara Riko seraya manggut-manggut, beranjak dari duduknya menuju gitar tergantung.
Riko memegang gitar, memeriksa tali, dan mengetes denting snarnya. Masih cukup bagus.
"Tapi Nik, masak nyanyi di sini, dilihat orang gimana."
Nika mendelikkan mata, tapi delikan mata seperti itu malah membuatnya makin menarik dalam pandangan Riko.
"Abang Riko ini gimana sih, memangnya ada yang salah kalau dilihat orang main gitar dan nyanyi. Kalau main di kamar aja, aku pun mau kok." Nada manja itu lagi.
"Bukan gitu Nik.Ntar dipikir orang sini pamer."
NIKA penasaran. Ia melihat sekeliling lalu memberi syarat pada gadis pelayan tadi. Setelah gadis pelayan dekat, Nika berkata pelan," Aku mau nanya nih, apa kalau main gitar dan nyanyi di sini akan dikirain orang pamer?"
Gadis pelayan menggeleng, tersenyum." Ah nggak kok kak, malah orang  senang ada yang menghibur."
Nika menoleh ke Riko."Nah, bang Rik dengar sendiri apa kata adik ini."
Riko merasa diskak dengan canda itu. Riko geleng kepala, tapi senang Nika candanya segar seperti itu.
Riko duduk di samping Nika menghadap danau. menyetel-nyetel gitar sebentar, lalu bertanya," Nah, aku nyanyi lagu apa. Tapi, ini sudah sore cukup dua lagu aja yah."
"Tarutung kan sudah dekat, bang Rik sendiri yang bilang tak sampai satu jam. Kenapa harus buru-buru."
Riko tak membantah lagi. Ia mulai memetik-metik tali gitar.
"Ingat bang Rik tadi janji suka kalau aku senang, ya kan."
Riko mengangguk, senyum. Memperhatikan wajah cantik yang begitu dekat dengannya."Ya, aku suka kalau dik Nika tak galau seperti tadi."
"Naaah, aku senang kalau bang Riko menyanyi..." Nika menyandar di kursi bentuk kursi malas dari kayu berukir.
"Lagu nostalgia ya Nika," Kata Riko masih mengetes-ngetes suara gitar.
"Sweet memory, bang," Nika masih menyandar santai. Dua gadis pelayan dan dua pasangan muda baru masuk, menatap Nika full perhatian.
Belum lagi menyanyi, intro gitar yang dimainkan Riko sudah mengundang decak kagum siapapun yang mendengar di sekitar resto, bahkan resto dn kafe sebelah. Alunan melodi gitar bergaya latin yang memikat ruang dengar orang bertelinga musik kelas tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H