Ada seorang Bapak yang membentuk dan mendidik anaknya seperti Pangeran Hamlet. Kata Bapak itu, musuh paling utama kita adalah diri kita sendiri. Introspektif sekali seperti Pangeran Hamlet. Tapi aku yakin Bapak itu hanya asal bicara saja karena Bapak itu tidak mirip sama sekali dengan Pangeran Hamlet. Sedangkan, anaknya mirip sekali dengan Pangeran Hamlet. Seperti sebuah perangkat lunak yang masuk ke dalam komputer. Kata-kata yang dilontarkan sang Bapak itu kepada anaknya ditelan mentah-mentah oleh anaknya. Anaknya itu benar-benar memproses kata-kata Bapaknya itu dengan sempurna di pikirannya sendiri.
      Penyair T.S. Eliot suatu kali pernah bilang kalau drama Hamlet karya William Shakespeare itu tidak terlalu bagus mutunya jika dibandingkan dengan drama Shakespeare yang lain. Misalnya, jika dibandingkan dengan drama-drama Shakespeare yang bertema fiksi sejarah murni. Drama Hamlet itu terlalu pop culture. Menghibur tapi kurang mendidik. Kukira itu yang dimaksud penyair T.S. Eliot atas kritiknya terhadap karya Shakespeare itu.Â
Cara berpikir Pangeran Hamlet tentang kemungkinan-kemungkinan dimana ia sering memiringkan kepalanya ke timur dan ke barat hanya untuk mencari tahu siapa pembunuh Ayahnya. Kisah Pangeran Hamlet dalam mencari pembunuh Ayahnya tak lebih dari sekedar kisah pencarian jati diri. Hamlet Akhirnya tahu bahwa hanya dengan kematianlah, jiwanya bisa bebas dari penjara yang bernama kedagingan itu.
      Drama Hamlet itulah yang menjadi cikal bakal paham eksistensialisme. Dalam psikologi perkembangan, paham eksistensialisme bisa ditemui dalam beberapa tokoh seperti Abraham Maslow dan Carl Rogers. Terapi-terapi humanis dalam psikologi menjadi salah satu anak dari paham eksistensialisme juga seperti client-centered therapy. Di Indonesia, dalam dunia literasi misalnya, saya bisa menyebut dua nama penulis novel yang memiliki aliran eksistensialisme.Â
Dewi "Dee" Lestari dan Sabda Armandio Alif. Pas juga ya, yang satu senior dan yang satu juniornya. Tapi menariknya, walaupun sama-sama eksistensialisme, eksistensialisme dalam ilmu psikologi dan sastra terlihat seperti bertentangan satu sama lain. Di dalam ilmu psikologi, misalnya paham eksistensialisme berkaitan dengan aktualisasi diri.Â
Seseorang hanya bisa mencapai aktualisasi diri jika ia sudah melewati tahapan-tahapan sebelumnya seperti kebutuhan biologis dan kebutuhan sandang-papan. Sedangkan di dalam sastra, eksistensialisme tampak seperti menjungkir-balikkan nilai-nilai yang ada. Aktualisasi diri menjadi benang merahnya. Aktualisasi diri yang satu hanya bisa dicapai melalui luka, kematian dan kelahiran kembali. Aktualisasi diri yang satunya hanya bisa dicapai melalui popularitas, materi dan status sosial. Sama tapi tampak berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H