Mohon tunggu...
Benidiktus Lasah
Benidiktus Lasah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Justitiae Non Est Neganda, Non Differenda! Sapere Aude!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Pemidanaan Anak dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak

13 Oktober 2024   22:31 Diperbarui: 14 Oktober 2024   05:04 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, sering terdengar berita mengenai suatu tindak pidana yang pelakunya merupakan seorang anak, seperti kasus pembunuhan satu keluarga di Penajam Paser Utara pada bulan Februari lalu yang dilakukan oleh seorang anak berumur 17 tahun. Bukan sekadar berita, data dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyatakan sejak tahun 2020 hingga tahun 2022 terdapat sekitar 2.338 anak yang berstatus sebagai pelaku tindak pidana (Anak yang Berkonflik dengan Hukum).  Apabila dirincikan per kasus maka terdapat 3 (tiga) kasus teratas di mana anak berstatus sebagai pelaku tindak pidana, diantaranya kasus pencurian sebanyak 838 kasus, penyalahgunaan narkoba sebanyak 341 kasus, dan penganiayaan sebanyak 232 kasus.  Status quo yang demikian pastinya membawa kekhawatiran di tengah masyarakat, terkhusus anak dalam kedudukannya sebagai generasi penerus cita-cita dan tujuan bangsa.

Seorang anak sudah sepatutnya menerima perlindungan sebagaimana dijamin oleh hukum, tetapi hal ini tidak serta merta melepaskan anak yang berstatus sebagai pelaku atau patut diduga sebagai pelaku tindak pidana untuk dimintai pertanggungjawaban. Seorang anak yang berstatus sebagai pelaku disebut sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).  Pasal 1 angka 3 UU a quo menyatakan anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Kendati dapat dimintai pertanggungjawaban, pemidanaan terhadap anak berlaku secara terbatas sebagaimana diatur dalam UU SPPA.

Pemidanaan dalam status quo sistem peradilan pidana anak Indonesia bertujuan untuk merehabilitasi moral dan mental anak dengan memerhatikan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Kepentingan terbaik anak ini dimaksudkan dalam hal pengambilan keputusan harus selalu didasarkan pada pertimbangan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Kepentingan terbaik anak merupakan ide atau konsep dasar yang harus diperhatikan Hakim sebelum menjatuhi pidana terhadap anak. Pemidanaan terhadap anak harus diusahakan agar tidak sampai merampas kemerdekaan anak, bukan untuk pembalasan, dan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Guna memastikan hal ini maka penjatuhan pidana terhadap anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dan diversi.

Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 69 UU SPPA dengan pengecualian terhadap anak yang belum berumur 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Penjatuhan pidana atau tindakan harus memerhatikan ringannya tindak pidana, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan dengan mempertimbangan aspek keadilan dan kemanusiaan. Secara konseptual, penjatuhan pidana pada dasarnya bertujuan untuk memberikan penderitaan (bijzonder leed) atau pencelaan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sedangkan penjatuhan tindakan semata-mata dijatuhkan untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana. Pidana terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum terbagi menjadi 2 (dua), yakni pidana pokok dan pidana tambahan (perampasan keuntungan dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat).

Pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU SPPA terdiri atas beberapa bentuk yang meliputi:

  • Pertama, pidana peringatan ditujukan semata-mata untuk melindungi kebebasan anak dari pembatasan kemerdekaan;
  • Kedua, pidana dengan syarat dijatuhkan oleh Hakim maksimal selama 3 (tiga) tahun dalam hal anak tersebut dijatuhi pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun dengan penentuan syarat umum dan syarat khusus. Penjatuhan pidana bersyarat dapat meliputi:
  • pembinaan di luar lembaga dapat berupa mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan, mengikuti terapi di rumah sakit jiwa, atau mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alcohol dan narkoba;
  • pelayanan masyarakat di mana anak membantu pekerjaan di lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial dengan tujuan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif (minimal dilaksanakan dalam waktu 7 jam dan maksimal 120 jam); atau 
  • pengawasan terhadap kehidupan sehari-hari di rumah anak oleh penuntut umum dan bimbingan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
  • Ketiga, pelatihan kerja di mana anak menurut umurnya diberikan suatu pelatihan di lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja selama minimal 3 (tiga) bulan dan maksimal 1 (satu) tahun;
  • Keempat, pembinaan dalam lembaga dijatuhkan apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut tidak membahayakan masyarakat di mana pembinaan ini dilakukan di tempat pelatihan kerja atau lembaga lainnya selama minimal 3 (tiga) bulan dan maksimal 2 (dua) tahun; dan
  • Kelima, pidana penjara hanya sebagai upaya terakhir paling lama 1/2 (setengah) dari maksimum pidana waktu tertentu terhadap orang dewasa tanpa pemberlakuan minimum khusus. Dalam hal anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka ia dijatuhi pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun.

Penjatuhan tindakan terhadap anak dilakukan melalui beberapa cara sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UU SPPA. Beberapa cara tersebut diantaranya:

  • Pertama, pengembalian kepada orangtua atau wali;
  • Kedua, penyerahan kepada seseorang dimana seseorang itu cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab serta dipercaya oleh anak tersebut yang dilakukan guna pemenuhan kepentingan anak yang bersangkutan;
  • Ketiga, perawatan di rumah sakit jiwa yang ditujukan guna membantu orangtua/wali dalam mendidik dan memberikan pembimbingan kepada Anak;
  • Keempat, perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS);
  • Kelima, wajib mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
  • Keenam, pencabutan surat izin mengemudi (SIM); dan
  • Ketujuh, perbaikan akibat tindak pidana atau memulihkan keadaan seperti semula.

Penjatuhan tindakan berupa perawatan di LPKS, wajib mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan, dan pencabutan SIM dilaksanakan paling lama 1 (satu) tahun. Penjatuhan tindakan termaktub dalam tuntutan Penuntut Umum, kecuali tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut diancam pidana penjara minimal selama 7 (tujuh) tahun.

Terakhir, perlu diingat bahwa pemidanaan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum tidak pernah ditujukan untuk memberikan penderitaan, melainkan semata-mata untuk memulihkan keadaan melalui pendekatan keadilan restoratif dan diversi. Paradigma pemidanaan dalam sistem peradilan pidana anak Indonesia berorientasi terhadap pemenuhan kepentingan terbaik anak yang didasarkan pada pemenuhan terhadap hak-hak anak dalam sistem peradilan pidana. Anak sebagai generasi penerus cita-cita dan tujuan luhur bangsa harus mendapatkan perlindungan yang layak sebagaimana dijamin oleh hukum dan dilaksanakan oleh negara dengan penuh penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan. Meskipun memang dalam status quo terdapat banyak perdebatan mengemuka mengenai masih relevan atau tidaknya konsep ini untuk diterapkan. Hemat penulis, apabila dipandang perlu bukan tidak mungkin dilakukan revisi atau rekonstruksi konsep pemidanaan anak dalam UU SPPA guna menunjukan hukum itu senantiasa adaptif dan responsif terhadap kebutuhan hukum masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun