Oleh: Leonardus S.A.
Part 1
Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang terletak di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Cirebon. Terdapat tiga jalur pendakian yang dapat dilalui pendaki, yakni jalur Linggarjati, jalur Palutungan, dan jalur dari Majalengka. Jalur yang biasa dilalui pendaki adalah jalur Linggarjati, walaupun medannya sangat curam dan melelahkan.
Pendakian Gunung Ciremai ini diikuti oleh 11 orang, yakni Fahmi H., Ibnu A.(ben), Rinjat, Wali H., Haykal B., Didi, Kipli & Saprol, Nur Sekhudin, Winda, serta saya sendiri. Pendakian ini telah direncanakan sejak awal bulan maret yang lalu. Segala persiapan telah dilakukan dari awal bulan, mulai dari perencanaan perjalanan, persiapan alat-alat pendakian, sampai latihan fisik.
Perjalanan dimulai pada hari jumat tanggal 25 Maret. Semua anggota pendakian (kecuali Sekh dan Winda yang menyusul dengan menggunakan Bis) berkumpul di terminal Manggarai pada pukul 06.00 WIB untuk naik kereta Kutojaya yang berangkat dari Stasiun Manggarai pukul 07.15 WIB. Kami naik kereta tanpa membeli tiket dan hanya bayar di atas seharga Rp 15.000 (harusnya cuma Rp10.000 kalau turun Cirebon). Pada pukul 11.30 WIB kami tiba di Stasiun Cirebon, dan langsung keluar lewat sebuah lubang kecil di pojok stasiun kemudian menuju Masjid terdekat untuk Sholat Jumat dan beristirahat sejenak sambil mengisi perut dan membeli perlengkapan yang masih kurang. Setelah briefing sejenak, kira-kira pukul 13.30 WIB kami melanjutkan perjalanan menuju Pos Linggarjati menggunakan angkutan kota yang kami sewa dengan biaya Rp 9.000 per orang (jumlah kami waktu itu masih 9 orang tanpa Sekh dan Winda). Di tengah perjalanan, tepatnya di pertigaan Cilimus, Sekh dan Winda yang berpisah jalan dari kami dengan naik Bis dari Jakarta ke kuningan, ikut bergabung bersama kami menuju Pos Linggarjati.
Sesampainya di Pos Linggarjati pada pukul 14.45 WIB, kami langsung menurunkan semua barang bawaan dan membayar ongkos sewa angkot. Saya kagum terhadap kenekatan supir angkot itu yang merelakan angkotnya untuk melewati jalan mendaki yang sangat curam menuju Pos Linggarjati. Karena kenekatannya itu, angkot yang kami naiki langsung mengeluarkan asap dari bagian mesinnya begitu kami sampai di Pos Linggarjati. Supir angkot itu sempat mengeluh kepada kami, dan meminta tambahan uang atas penderitaan yang dialami angkotnya itu. Ben yang merasa kasihan melihat peristiwa itu, akhirnya memberikan tambahan uang sebesar Rp 3.000 kepada supir angkot tersebut yang menerimanya dengan ekspresi pasrah dan sedikit kecewa.
Di Pos Linggarjati ini kami sempat terkejut melihat pengumuman bahwa jalur pendakian sedang ditutup. Namun, disitu terdapat seorang warga yang memberitahu kami untuk menghubungi kontak person yang tertempel di pos tersebut. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya penjaga pos tersebut datang dan kami pun langsung mengurus perizinan dengan mengumpulkan fotocopy KTP/identitas kami masing-masing. Ternyata alasan ditutupnya jalur pendakian pada waktu itu adalah cuaca buruk yang sedang terjadi di kawasan tersebut. Kami sendiri hanya diberikan tiket untuk kamping, tetapi penjaga pos itu tetap memperbolehkan kami untuk mendaki hingga ke puncak, namun harus tetap menjaga kewaspadaan dan mengurungkan niat jika saja cuaca makin memburuk.
Sekitar pukul 16.30 WIB kami memulai perjalanan menuju ke Cibunar tempat kami bermalam. Cibunar terletak sangat dekat dengan Pos Linggarjati, hanya berkisar 20-30 menit perjalanan untuk menuju ke sana. Di tengah perjalanan menuju Cibunar, kami bertemu beberapa penduduk yang hampir semuanya memperingatkan kami agar tidak mendaki menuju puncak karena cuaca yang sangat buruk.
Cibunar adalah sumber mata air satu-satunya yang terdapat di jalur Linggarjati, dan tidak akan ditemukan lagi sumber air sampai ke puncak. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk bermalam ditempat ini untuk lebih mempersiapkan diri kami dan mempersiapkan air yang harus kami bawa hingga turun kembali nanti.
Di base camp Cibunar, kami tidak mendirikan tenda untuk bermalam, karena di tempat itu terdapat sebuah ruangan kosong yang strategis untuk tidur dan beristirahat. Di dekat daerah itu juga terdapat sebuah mushola kecil yang terdapat kolam di depannya. Kami menggunakan mushola itu untuk sholat, memasak, dan beristirahat sejenak sebelum tidur di ruang kosong bekas pos.
Pagi harinya, tepatnya hari Sabtu tanggal 26 Maret pukul 07.15 WIB, kami memulai kembali perjalanan setelah selesai masak dan menyiapkan bekal air. Kami menargetkan perjalanan hari ini sampai ke base camp Pengasinan, yaitu base camp terakhir sebelum puncak. Trek dari Cibunar menuju Leuweung Datar dan Gondang Amis bisa dikatakan cukup landai untuk ukuran Gunung Ciremai, namun tidak terlalu landai juga karena sudah dapat membuat pendaki kelelahan.
Di tengah-tengah perjalanan menuju Leuweung Datar, kami disuguhkan keindahan kabupaten Kuningan dan sekitarnya. Kami juga sempat menemukan bunga berwarna merah dengan bentuk yang begitu unik dan menawan, serta sebuah fosil hewan, entah hewan apa, tapi yang pasti fosil hewan tersebut masih berbentuk utuh sempurna. Setelah berjalan beberapa saat, kami tiba di pos bernama Gondang Amis pada pukul 08.30 WIB. Gondang Amis adalah pos yang memiliki sebuah bangunan beratap yang dapat digunakan untuk tempat bermalam bagi para pendaki.
Setelah melewati Gondang Amis, lintasan masih sama seperti sebelumnya, bahkan makin lama semakin menanjak. Pos selanjutnya adalah Pos Kuburan Kuda. Pos Kuburan Kuda ini merupakan wilayah yang datar dan cukup luas untuk mendirikan tenda bagi pendaki yang ingin bermalam. Selepas Kuburan Kuda, cuaca mulai memburuk. Dengan terpaksa, beberapa di antara kami mengeluarkan jas hujan agar tubuh kami tidak kebasahan. Cuaca hujan ini mengiringi perjalanan kami melewati lintasan yang semakin menanjak, nyaris tanpa bonus. Cuaca buruk dan lintasan yang menanjak curam, membuat beberapa orang di antara kami mulai sangat kelelahan.
Setelah Kuburan Kuda, kami melewati Pos Pangalap dengan lintasan yang terus menanjak sama seperti sebelumnya. Menurut informasi yang kami dapat, tanjakan yang paling curam dan melelahkan dari jalur Linggarjati ini adalah tanjakan Bapa Tere. Namun, karena dari selepas Pos Kuburan Kuda tadi lintasan selalu menanjak dengan curam dan nyaris tanpa bonus, kami selalu mengira dan berharap bahwa Pos Bapa Tere telah kami lewati. Akan tetapi, harapan kami tersebut jauh dari kenyataan, karena setelah berjalan beberapa lama, kami baru tiba di Pos Tanjakan Seruni.
Ketika kami telah tiba di Pos Tanjakan Seruni, cuaca semakin memburuk. Hujan tak henti-hentinya menyapa kami, sehingga membuat tubuh dan pakaian kami basah kuyup. Barang bawaan kami pun menjadi tambah berat karena basah. Kami sempat beristirahat sejenak di pos Tanjakan Seruni, menyiapkan fisik dan tekad untuk mengahadapi trek Bapa Tere yang paling melelahkan. Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan kembali perjalanan menuju Pos Bapa Tere.
Saya tidak ingat dan tidak sempat mencatat pukul berapa kami tiba di Pos Bapa Tere, namun kira-kira kami memerlukan waktu sekitar + 2 jam perjalanan. Setelah sampai di Pos Bapa Tere, kami kembali beristirahat sejenak, kemudian langsung melanjutkan perjalanan kembali. Seperti yang telah kami duga, lintasan Bapa Tere ini sangatlah curam dan melelahkan. Beberapa kali kami harus berpegangan pada akar-akar dan batang-batang pohon yang melintang di atas kami. Jalur yang sangat menyulitkan ini memaksa kami sering berhenti untuk istirahat sejenak guna mengatur napas.
Jalur yang sangat curam, ditambah hujan yang semakin deras membuat tubuh kami semakin lelah dan kedinginan. Sampai akhirnya kami tiba di Pos Batu Lingga pada pukul 16.00 WIB dan memutuskan untuk bermalam di tempat tersebut. Pos Batu Lingga sebenarnya masih berjarak satu pos lagi dari terget kami sebelumnya, yaitu Pos Pengasinan. Akan tetapi, kondisi fisik yang sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan di tengah hujan lebat, di tambah hari yang sudah menjelang malam, akhirnya mengurungkan niat kami untuk melanjutkan perjalanan menuju Pengasinan.
Kami segera membuat bivak dan mendirikan satu tenda untuk mengkondisikan tubuh beberapa orang di antara kami yang telah sangat kelelahan dan kedinginan, sebelum tenda yang lain didirikan. Sejenak kami memasak air hangat dan beberapa orang di antara kami mengganti pakaian karena sudah tidak kuat menahan dinginnya pakaian yang basah akibat air hujan. Setelah dirasa cukup beristirahat, beberapa di antara kami yang masih merasa cukup kuat bekerjasama mendirikan tenda yang lain untuk kami bermalam.
Sangat sulit mendirikan tenda di tengah hujan lebat. Hawa dingin yang mengigit serta keharusan menjaga tenda bagian dalam kering bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kebetulan pos Batu Lingga ini memiliki tanah datar yang tidak begitu luas, sehingga kami harus mendirikan tenda di dua tempat yang terpisah, namun tidak begitu jauh jaraknya. Sebenarnya kami membawa dan mendirikan empat buah tenda, namun karena tenda pertama yang kami dirikan sudah basah di bagian dalamnya, maka tidak dapat kami gunakan untuk tidur, dan hanya digunakan untuk menyimpan tas serta perlengkapan lainnya.
Pagi harinya, hari minggu tanggal 27 Maret 2011 pukul 06.30 WIB kami melanjutkan perjalanan, dan target kami kali ini adalah puncak tertinggi Gunung Ciremai serta kembali turun melewati jalur Apuy. Jalur menuju pos Sanggabuana masih menanjak, akan tetapi tidak securam jalur Bapa Tere. Di pos Sanggabuana kami menemukan dua buah tenda yang sepertinya tengah ditinggalkan pemiliknya untuk melakukan summit attack. Dalam perjalanan menuju puncak, kami tidak terlalu lama melakukan istirahat, karena takut terlalu siang sampai di bibir kawah, kami memang sering melakukan break, namun tidak terlalu lama.
Dalam perjalanan menuju puncak ini, kelompok kami terbagi menjadi dua, empat orang di bagian belakang dan sisanya berjalan lebih dulu di bagian depan. Perjalanan dari pos Sanggabuana menuju pos Pengasinan memiliki lintasana yang hampir sama curamnya dengan lintasan sebelumnya.
Beberapa saat kami berjalan, akhirnya kami tiba di pos Pengasinan. Pos Pengasinan memiliki tanah datar yang cukup luas dan nyaman untuk mendirikan tenda, namun daerahnya cukup terbuka, untuk itu, jika ingin bermalam di pos ini harus membuat penahan angin atau mendirikan tenda di antara pepohonan dan semak-semak. Walaupun pos Pengasinan sangat kondusif untuk beristirahat dengan waktu lama, namun karena ingin mengejar waktu, kami mempersingkat waktu beristirahat, agar dapat beristirahat lebih lama di bibir kawah Gunung Ciremai.
Perjalanan dari pos Pengasinan menuju puncak sangatlah melelahkan. Lintasan kembali menjadi sangat curam, nyaris tanpa bonus. Bahkan, jika kelelahan, kami hanya dapat beristirahat sejenak di antara akar atau batang pohon, tanpa bisa menemukan tanah datar sama sekali. Dalam perjalanan menuju puncak ini, kami bertemu dengan para pendaki yang telah lebih dulu melakukan summit attack, yang sedang dalam perjalanan turun. Seperti biasa, kami saling bertegur sapa dengan kelompok pendaki tersebut dan saling menyemangati.
Kira-kira pukul 10.00 WIB kami tiba di bibir kawah Gunung Ciremai, tepatnya di puncak Panglongokan (3027 mdpl). Dari tempat ini, puncak Ciremai udah sangat dekat dan dapat terlihat, hanya membutuhkan perjalanan beberapa menit menyusuri bibir kawah. Kami memutuskan untuk beristirahat serta makan siang di puncak Panglongokan ini.
Kelelahan serta penderitaan yang kami rasakan selama mendaki dari pos Linggarjati beberapa hari yang lalu, terbayar semua oleh indahnya pemandangan dari bibir kawah Gunung Ciremai ini. Kami beruntung, cuaca di puncak Panglongokan ini cukup baik, sehingga kami dapat menjadi saksi keindahan kawah kembar Gunung Ciremai serta Laut Jawa di sisi utara dan megahnya Gunung Slamet di sisi timur. Sungguh-sungguh pengalaman yang sangat luar biasa dan tak akan terlupakan berdiri di tempat menakjubkan ini.
Karena cuaca yang baik, kami tidak membuang-buang kesempatan untuk berfoto serta menjemur barang-barang bawaan kami yang basah, untuk meringankan bawaan kami saat turun nanti. Beberapa saat setelah kami menikmati makan siang, terdapat beberapa pendaki yang baru tiba di puncak Panglongokan ini.
Pukul 13.30 WIB, kami melanjutkan perjalanan untuk mencapai puncak tertinggi Gunung Ciremai dan kemudian turun kembali ke kaki gunung. Puncak tertinggi Gunung Ciremai ditandai dengan adanya bekas tiang yang telah patah serta bendera yang masih terikat di tiang tersebut. Sebenarnya kami agak tertipu dengan puncak tersebut, karena di plang yang telah patah, tertulis bahwa puncak itu masih setinggi 3058 mdpl, namun ternyata itulah puncak tertinggi Gunung Ciremai, dan tempat pertemuan dengan jalur dari Palutungan. Naluri kami untuk mencari puncak yang tertinggi, membuat kami terus menyusuri bibir kawah untuk menemukan puncak dengan tinggi 3078 mdpl, seperti yang tertulis dalam berbagai sumber yang kami baca sebelumnya. Padahal, puncak yang kami cari sbenarnya telah kami lewati, dan kami hanya mencari puncak yang tidak ada.
Menyusuri bibir kawah dengan cuaca yang semakin berkabut dan angin yang bertiup sangat kencang di tambah lintasan bibir kawah yang selalu memaksa kami berpegangan pada batu, akhirnya membuat kami sadar bahwa jalan yang kami lalui adalah jalan yang salah. Akhirnya, hujan pun turun, dan kami memutuskan untuk kembali ke jalan yang telah kami lalui, yaitu puncak dengan tiang bendera tadi yang kami anggap bukan puncak tertinggi. Namun, karena keengganan kami melewati kembali lintasan bibir kawah yang membatasi hidup dan mati hanya beberapa sentimeter itu, akhirnya kami memutuskan untuk melewati daerah di bawah bibir kawah yang masih terdapat pepohonan dan semak yang paling tidak bisa menjadi pijakan yang lebih baik bagi kami. Kondisi jalan yang kami lewati untuk kembali ke jalur yang benar memang tidak lebih buruk dari lintasan di bibir kawah, tetapi tidak juga lebih baik, karena berkali-kali kami harus berjalan jongkok untuk menghindari batang pohon yang melintang dengan liar serta pijakan yang sangat empuk dan licin yang terdiri dari rumput dan semak yang memaksa kami berjalan dengan hati-hati agar tidak terpeleset.
Setelah beberapa saat kami “bermain-main” di bibir kawah Gunung Ciremai, akhirnya kami menemukan jalan yang tepat untuk dilalui untuk kembali ke bawah. Akan tetapi, walaupun perasaan kami sudah lega karena menemukan jalan yang benar, kami masih harus menghadapi jalur yang sangat curam untuk turun, ditambah badai yang selalu mengiringi kami sejak dari bibir kawah tadi, membuat lintasan seperti air terjun mini yang sangat licin untuk di lintasi. Tidak hanya itu, petualangan kami semakin bertambah menarik saat sang petir terus menemani kami dalam perjalanan turun ini. Bahkan ada petir yang tidak sungkan-sungkan menyambar sampai hanya berjarak 10 meter dari tempat kami berjalan.
Sekitar pukul 16.30 WIB, kami tiba di pos bernama Goa Walet. Kami berhenti dan beristirahat sejenak di seberang Goa Walet untuk mengatur napas. Setelah beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan turun. (Bersambung ke Part 2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H