Pemerintahan Indonesia telah menetapkan target baru dalam mencapai net zero emission ketika COP26 di Glasgow, Irlandia. Target ini disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Pak Arifin Tasrif. Beliau memaparkan terkait peta jalan yang akan dilalui oleh Indonesia dalam mencapai target tersebut.
Indonesia akan menutilisasikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagai bauran energi baru terbarukan (EBT) yang mendominasi pada tahun 2025 untuk mewujudkan target bauran EBT sebesar 23%. Kemudian berprogresi naik mewujudkan bauran EBT 57% pada tahun 2035 yang didominasikan oleh PLTS, hidro, dan pembangkit geothermal. Pada periode tahun 2036-2040 baruan EBT akan sebesar 66% dengan PLTS, hidro dan bioenergi sebagai mayoritas dari pembangkitan. Pada akhirnya tahun 2041-2045 Indonesia akan memiliki bauran EBT sebesar 93% yang didominasi oleh pembangkit sebelumnya.
Menelisik dari peta jalan yang telah dikembangkan oleh Kementerian ESDM dapat ditentukan bahwa Indonesia akan menitikberatkan pengembangan PLTS untuk kedepannya. Namun dampak terkait keberadaan PLTS dengan jumlah yang signifikan ini perlu ditelaah lebih lanjut mengingat bahwa PLTS menghasilkan listrik yang fluktuatif. Sebelum menggali lebih jauh terkait problema ini perlu diketahui mengenai sistem ketenagalistrikan yang diimplementasikan di Indonesia.
Jaringan sistem ketenagalistrikan di Indonesia menggunakan pendekatan perencanaan dari pembangkit ke konsumen. Pembangkit akan menyuplai tegangan yang berbeda tergantung dengan kemampuan produksi dari pembangkit tersebut. Hasil tegangan yang didapat akan dinaikkan besaran tegangannya agar dapat secara efektif dan efisien dikirimkan pada jaringan distribusi milik PLN. Untuk mencapai tegangan yang lebih tinggi maka tegangan dari pembangkit akan melalui transformer terlebih dahulu.
PLTS umumnya tersambung dengan tegangan 20kV jika besar pembangkit tersebut dibawah 5MW. Namun untuk mencapai efisiensi transmisi yang lebih tinggi maka tegangannya akan dinaikkan pada 150kV. Opsi ini tentunya bergantung dengan kasus proyek yang akan dikembangkan, hal tersebut dikarenakan pengadaan trafo untuk menaikkan tegangan ke 150kV membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Jika tidak ada masalah dari segi studi jaringan maka PLTS dapat dibangun. Listrik yang dihasilkan akan terdistribusikan melalui tegangan yang berbeda sesuai dengan target pengguna. Industri akan tersambung ke tegangan tinggi dan rendah, sedangkan rumah tangga tersambung ke tengangan rendah.
Jumlah energi yang dikirimkan oleh pembangkit dengan energi yang digunakan harus mencapai sebuah kesetimbangan. Hal tersebut dikarenakan jaringan sistem ketenagalistrikan harus menjaga frekuensi yang stabil yaitu sebesar 50Hz. Jika terdapat ketidaksesuaian dari energi pembangkit dengan energi beban maka nilai frekuensi dapat berubah dan merusak sistem ketenagalistrikan.
Ketidakstabilan frekuensi tersebut terjadi karena sistem tidak dapat menyimpan energi dengan kuantitas yang besar. Sehingga, diperlukan sebuah mekanisme untuk menjaga stabilitas jaringan sistem ketenagalistrikan ini. Salah satu cara yang dilakukan yaitu merancang sistem dengan jumlah saklar maupun bypass dengan jumlah yang signifikan. Hal tersebut dilakukan agar dapat melakukan sebuah pembatasan dari daya konsumsi atau pemadaman listrik sementara agar stabilitas tetap terjaga. Telah terdapat sebuah batasan yang telah ditetapkan oleh KESDM & PLN untuk memastikan besar frekuensi yang diharapkan.